Pada
tahun 2009 nanti, saat kursi pemimpin Negara Indonesia sedang mulai
diperebutkan. Pada saat itu pula, seluruh kekuatan dari benda bertuah
akan menjadi perioritas utama. Namun, hanya ada satu pusaka pilih
tanding yang sedang diburu oleh seluruh paranormal sebagai raja dari
semua pemimpin gaib, yaitu Trisula Karara Reksa.”
Menyelusuri keberadaan pusaka yang satu
ini sungguh teramat sulit karena berada di dasar Laut Kidul. Tepatnya di
istana agung Kanjeng Ibu Ratu Laut Kidul, yang ditempatkan di dalam
ruangan khusus tingkat ke lima.
Pusaka ini juga sebagai bentuk dari
kebesaran kursi para pembesar istana bawah laut maupun Majapahit dan
Keraton Solo. Bahkan dalam dunia wayang, pusaka ini digambarkan pada gunungan
yang menyerupai bentuk padi atau bentuk rambut bergerigi. Yang artinya,
lambing dari kemakmuran, pangkat, kesuksesan, kedudukan dan kepercayaan
seluruh wahyabala/lapisan masyarakat luas.
Bercerita tentang karomah atau kesaktian
pusaka Karara Reksa, tentu sudah tidak diragukan lagi sebagai tameng
dari berbagai ilmu santet, teluh dan sebagainya. Bahkan dalam hal
memuluskan suatu jabatan, Syekh Abdul Karim, Benda Kerep (alm) yang
semasa hidupnya menjadi guru besar para Habaib se-Indonesia ini pernah
berujar;
“Pada masa itu, seorang
intelektualis, Ir. Soekarno sebelum menjadi pemimpin negara, meminta
pendapat pada Kyai yang satu ini tentang sebuah jalan menuju derajat
mulia di tengah banyaknya manusia yang mengharapkan.”
Lalu Kyai tersebut berkata; “Dunia
adalah derajat dan derajat adanya di dunia. Keberkahan Allah SWT, yang
punya, namun harus dicari pangkal ujungnya. Segala upaya ada jalannya,
carilah karomah yang bersifat raja.”
Dengan penghayatan seksama, lalu Ir. Soekarno bertanya kembali, “Dimana gerangan harus ku cari suatu karomah bersifat raja?”
Sang Kyai menjawabnya, “Bersatulah
lahir dan batinmu untuk sejalan beriringan, sesungguhnya derajat
duniawiyah banyak dimiliki makhluk kasat mata, pintar-pintarlah dalam
mencari derajat, karena di tengah derajat akan ada tpu muslihat.
Ambillah pusaka raja TRISULA KARARA REKSA. Mintalah izin dari sang murid
Nabi Khidir as (yang dimaksud dengan murid di sini adalah Kanjeng Ibu
Ratu Kidul) sesungguhnya karomah raja (pusaka raja) ada padanya.”
Lalu Ir. Soekarno pamit mundur diri dari
hadapan Kyai kharimatik untuk menjalankan suatu perintah mulia lewat
jalan bertirakat. Dalam suatu komptemplasinya, Ir. Soekarno mendapat
suatu wangsit untuk bertirakat/bersemedi di puncak Gunung Penjalu,
Tasik, Jawa Barat.
Beliau akhirnya datang ke puncang gunung
tersebut, tepatnya diatas puncak bebatuan yang bernama Harja Mukti atau
Pataka Harja. Lewat amalan dan pelaturan yang diberikan oleh Syekh
Abdul Karim. Hari ke-41 dari semedinya di puncak Gunung Penjalu,
akhirnya Ir. Soekarno mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu, pusaka
KARARA REKSA, yang langsung diberikan oleh Kanjeng Ibu Ratu Kidul
sendiri.
Bercerita tentang pusaka, Trisula Karara
Reksa, penulis mempunyai kisah tersendiri, yang pada masa itu aku sama
sekali tak menyangka, kalau pusaka yang ada di tanganku adalah pusaka
nomer satu yang sedang diperebutkan banyak paranormal.
Konon, bermula dari suatu tirakat, saat
memperdalam ilmu, Wijaya Kusuma, di salah satu peninggalan bersejarah,
yaitu, sebuah rumah tinggal seorang waliyullah sakti, Raden Mas Kuncung
Anggah Buana. Tepatnya, berlokasi di desa Trusmi, kecamatan Plered.
Dalam istilah silsilah, tokoh yang satu
ini dilahirkan tanpa seorang ayah, pada umumnya. Tapi, dari suatu
keajaiban kebesaran Allah SWT, pada ummat/hamba pilihannya seperti
kisah, Nabiyullah Isa as.
Nah, sebelum kisah perjalanan hidupku
aku lanjutkan, ada baiknya kita tahu, siapa gerangan Raden Mas Kuncung
Anggah Buana, agar tidak penasaran akhirnya.
Dalam kisah sejarah, desa Trusmi
mengalami masa kekeringan yang begitu panjang. Seorang puteri cantik
jelita, Ratu Ayu Roro Jati, selalu bersedih hati dengan keadaan seperti
ini.
Beliau sering menyendiri di sebuah taman
keputren, sambil menatap tanaman yang tinggal tangkai tanpa satu pun
daun yang bertengger diastasnya. Dengan melihat kondisi seperti ini,
sang puteri sering menangis sambil melantunkan seuntai kata
keprihatinan, diantaranya;
“Wahai Dewata Agung, tidaklah kau
turunkan seseorang yang mampu merubah taman kering ini menjadi subur
kembali. Sesungguhnya aku hidup tanpa punya kesenangan lani kecuali
keasrian tamanku pulih kembali. Wahai Dewata Agung, aku bersumpah dengan
segala kerendahan. Siapapun yang mampu menghidupkan taman kesayanganku
ini, bila orang itu laki-laki, aku kan jadikan dia suamiku. Tapi bila
dia seorang perempuan, akan ku jadikan keluargaku yang paling dekat.”
Pada esok harinya, seorang pemuda yang
entah dari mana datangya, dengan kondisi dan mimik wajah kelelahan
sehabis perjalanan jauh. Rupanya, langsung beristirahat sambil mandi di
pancuran taman keputren Trusmi, yang sedang dilanda kekeringan, pada
masa itu.
Dengan rasa tergesa-gesa, pemuda itu
langsung menanggalkan bajunya diantara ranting pohon yang sudah teramat
kering. Terlihat kesegaran di wajah pemuda itu, setelah merasakan
sejuknya air pancuran keputren.
Bertepatan saat pemuda tadi selesai
mandi, tanpa disengaja sang Puteri Roro Jati masuk ke dalam taman
keputren. Sang puteri langsung terkejut kaget dan juga tercengang
takjub. Ya, sang puteri benar-benar terkesima melihat dua hal yang belum
pernah dilihatnya semasa hidupnya.
1. Di saat pemuda
tadi mengambil bajunya yang tergelak diatas ranting kering, tiba-tiba
pohon it mengeluarkan daun yang begitu lebatnya serta bermunculan
beragam bunga dengan beraneka warna yang sungguh indah dipandang mata,
bukan hanya itu saja, seluruh pohon yang ada ditaman semua ikut subur
seperti sedia kala.
2. Saat berpandangan
mata, sang puteri langsung terpesona dengan ketampanan pemuda tadi yang
tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Konon, saking terpesonanya sampai
sang puteri tak sadar kalau betisnya tersingkap lebar-lebar dan pada
saat itu Sunan Gunung Jati melihatnya, hingga punya sir kelakiannya.
Dari kejadian itu, Sunan Gunung Jati
pergi meninggalkan sang puteri seorang diri masih dalam keadaan
terbengong-bengong. Sejak saat itulah, kehidupan sang puteri mulai
berubah. Beliau benar-benar jatuh hati pada pemuda yang baru diilhatnya.
Ya, tingkah laku sang puteri mulai aneh. Beliau selalu datang dan
mencium tanah bekas telapak kaki berdirinya Sunan Gunung Jati di samping
air pancuran tamannya.
Empat bulan sejak hadirnya Sunan Gunung
Jati dalam pikirannya empat bulan pula sejak tergila-gila dan terus
menciumi bekas telapak kakinya, tanpa disadari, beliau akhirnya hamil
dengan kebesaran dan keagungan ilmu Allah SWT.
Di saat kandungan telah mencapai 9
bulan, Nyi MAs Ayu Roro Jati, akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki
yang memancarkan sinar terang dari wajahnya. Dengan rasa suka cita sang
puteri dan ayahandanya langsung datang menghadap Prabu Panatagama/
Sunan Gunung Jati Cirebon, yang konon namanya Sunan Gunung Jati ini
sudah ke sohor kemana-mana pada masa itu.
Dihadapan seorang raja Islam Cirebon,
ayah dan sang puteri Roro Jati ini menceritakan ikhwal asal-usul hingga
akhir kejadiannya. Dengan senyum yang menawan, Sunan Gunung Jati
menerima tamunya dengan riang gembira. Dan akhirnya Puteri Roro Jati
dinikahinya menjadi salah satu isteri yang paling setia.
Sedangkan sang bayi, Sunan Gunung Jati
menamainya dengan sebutan Raden Mas Kuncung Anggah Buana. Konon dalam
sejarah Cirebon, Raden Mas Kuncung Anggah Buana menjadi seorang pilih
tanding dengan ribuan muridnya yang tersebar di berbagai penjuru angina,
diantara murid beliau yang sampai sekarang masih terkenal namanya
adalah Kanjeng Ibu Ratu Laut Kidul.
Nah, kita lanjutkan kembali kisah
hidupku tentang pusaka Trisula Karara Reksa. Dalam suatu malam, tepatnya
selasa kliwon. Malam itu, ruangan paseban Raden Mas Kuncung Anggana
Buana, begitu gelapnya karena aliran listeri padam akibat hujan lebat
yang sejak sore telah mengguyur daerah Trusmi dan sektirnya.
Mungkin faktor cuaca yang sangat dingin,
malam itu tanpa sadar aku terlelap tidur di serambi pintu ukir yang
sudah berabada-abad tahun lamanya tidak pernah direnovasi oleh
masyarakat setempat. Dan entah sudah berapa jam aku tertidur di tempat
itu, tapi yang jelas, aku baru terbangun karena terkejut, tubuhku di
lempar oleh seseorang.
Belum lagi rasa terkejutku hilang,
tiba-tiba dari dalam pintu ukir, keluar sebuah sinar yang amat terang
benderang. Sinar itu lalu berputar mengelilingi tubuhku sampai lima
puteran dan seterusnya sinar itu redup lalu jatuh dihadapanku.
Dengan dibantu cahaya senter yang selalu
kubawa, benda itu lalu kuambil dan kuperhatikan secara seksama. “Aneh!”
pikirku. Benda ini terbuat dari bahan tulang dengan bentuk tujuh
tangkai saling menyatu dan semuanya bergerigi seperti bentuk padi.
Tapi bila diperhatikan lagi, benda ini
mirip bentuk tombak yang lepas dari gagangnya. Sungguh sangat unik dan
belum pernah kulihat sebelumnya. Malam itu juga, aku sudahi tirakatku
dengan membawa sebuah kenang-kenangan dari bangsa gaib, yaitu berupa
pusaka aneh, menurutku.
Walau dalam suatu kegunaannya dan
manfaat dari benda ini sama sekali belum aku ketahui kunci pembukanya.
Namun aku patut bersyukur. Sebab, sejak adanya benda ini di rumahku,
lambat laun aku mulai kedatangan rizki dari berbagai tamu yang
membutuhkan pertolongan supranaturalku.
Bahkan tak tanggung-tanggung, para
pengusaha dan pejabat tinggi negara datang pula dengan berbagai
persoalan dan masalah yang tentunya sangat privasi. Namun, setengah
tahun dari kedapatan benda aneh tersebut, pada suatu hari benda itu
kubuang karena suatu alasan.
Lantas, apa yang terjadi setelah itu?………Simaklah terus kisah perjalanan supranaturalku diedisi berikutnya…..
Read More
Dalam penghujung cerita bagian 1, sudah
dijelaskan, bahwa pusaka aneh yang berasal dari posaroan, Raden Mas
Kuncung Anggah Buana, yang lain adalah pusaka no.1, Trisula Karara
Reksa, pada akhirnya setelah setengah tahun ikut bersamaku, pusaka ini
kubuang karena suatu alasan yang memaksa.
Lantas…apa yang terjadi setelah itu….?
Kisah dibuangnya pusaka ini bermula dari
suatu hasutan dari salah satu masyarakat yang satu profesi sepertiku.
Dengan adanya aku, banyak tamu yang datang dari berbagai daerah meminta
suatu pertolongan. Orang yang satu ini langsung menunjukkan mimic
ketidak sukaannya.
Lewat hasutannya, satu persatu dari
masyarakat sekitar mulai terpedaya dan mencemoohku sebagai seorang ahli
santet/teluh. Bahkan ucapan miring seperti ini selalu kudengar acapkali
ada orang sakit atau terkena musibah, semua akan dikembalikan kepadaku
dengan tuduhan, akulah penyebabnya.
Berbulan-bulan hasutan ini terus
terdengar dikupingku. Namun seakan tak pernah padam, para tamu yang
meminta pertolonganku terus bertambah sepuluh kali lipat dari
sebelumnya. Melihat kenyataan seperti ini, aku dihasut lagi dengan modus
yang lain. Yaitu, aku dianggap menganut pesugihan lewat pelantara
memelihara tuyul.
Pada suatu hari, seiring merebaknya
fitnah yang terus terdengar sampai ditelinga keluargaku. Malam harinya,
aku bermimpi didatangi empat orang. Dua laki-laki bersorban dan dua
perempuan cantik dengan memakai mahkota ratu. Dalam mimpiku, salah satu
ratu tadi berkata ;
“Anakku! Jangan kau putus asa karena
suatu masalah. Terimalah dengan senang hati dengan datangnya masalah
ini. Sesunguhnya sabar dalam menghadapi segala masalah, adalah suatu
derajat termulia dihadapan-Nya.”
Lalu sang kakek bersorban meneruskannya;
“Jika kau tak mampu menahan rasa sakit,
jangan kau curahkan sakit itu dengan perlawanan. Karena sesungguhnya
mengalah demi suatu kebaikan itu lebih mulia dari pada kau melawannya,”
“Diam dan tenang itu lebih mulia
daripada gerak membawa malapetaka. Sesungguhnya semuanya adalah
permainan rasa (hati) yang mana didalamnya, apabila hati kita menerima
adanya masalah. Maka, masalah itu seolah tidak ada. Tapi apabila hati
kita tidak menerima segala hal yang berbentuk masalah, niscaya rasa
senangpun akan dibuat masalah sendiri.” Tambahnya.
Sejak kejadian mimpi itu, aku mulai
banyak intropeksi diri dengan jalan tirakat dan puasa diberbagai tempat
posarrean para Waliyullah. Aku mulai jarang dirmah dan selalu bepergian
dari satu makam Wali ke makam yang lainnya.
Hingga pada suatu malam, disaat aku
pulang dari posaroan seorang wali, Syekh Abdul Latif, kamarku terlihat
berantakan dan Trisula Karara Reksa sendiri hilang dari tempatnya.
Dengan penasaran, gundah-gulana, malam
itu juga aku mulai mempersiapkan sarana ritual untuk menarik kembali
pusaka itu, yang baru saja dicuri. Namun dalam suatu kontemplasi yang
aku lakukan, para Abdul Jumud dan para lelembut bangsa laut datang ke
kamar dengan membawa pesan;
“Rekanlah kepergian pusaka tatal raja.
Mungkin sudah waktunya dia berpisah denagn dirimu. Hanya saja ada satu
hal yang harus engkau ketahui, buanglah sejauh mungkin sarung/tempat
pusaka tatal raja. Sesungguhnya pusaka itu tidak akan berkaromah apabila
tidak disatukan dengan warangkanya.”
Demi menghormati amanat para gaib untuk
menyelematkan karomah yang ada pada pusaka itu. Pagi harinya, aku
langsung membuang warangkanya di suatu sungai yang bernama, Kali
Telgung.
Dua hari kemudian, dari pembuangan
warangka pusaka, aku langsung pindah rumah dan ikut ke salah satu
pengusaha Chines di Semarang, menjadi supranaturalis pribadinya. Satu
tahun aku dikontraknya dan setelah itu hidupku lebih diarahkan ke dunia
spiritualis lewat ngarayana keberbagai tempat/makam keramat para sesepuh
zaman dahulu.
Diantara tempat keramat yang pernah aku
singgahi selama tiga tahun ngarayana, diantaranya; Syekh Tolha
(Kalisapu), paserean Kanjeng Sungan Kalijaga (Kalijaga, Cirebon),
Pangeran Papak (Garut), Sunan Godog (Garut), Syekh Muhyi (Pemijahan),
Syekh Latif dan Syekh Qobul (Kajen), Ki Ageng Sapu Jagat (Cuci Manah),
Syekh Manshur (Banten), Pangeran Topak (Matangaji), Habaib Keling
(Indramayu), Syekh Majagung (Situmpuk), pertapaan Sunan Gunung Jati dan
Mbah Kuwu Cakra Buana (istana pukuwati, Cirebon), dan lain-lain.
Dari kisah perjalanan spiritualisku,
tentu banyak fenomena gaib yang membuatku mengenal akan kebesaran Allah
SWT, lewat beberapa makhluk lain, seperti bangsa jin dan lainnya. Bahkan
dalam kebesaran Af’al yang diciptakan-Nya, aku banyak dihadapkan dalam
fenomena alam, kehidupan makhluk kasat mata.
Ternyata, tidak hanya bangsa manusia
yang merasakan nikmatnya keindahan alam yang diciptakan oleh Allah SWT.
Namun makhluk lainpun tak kalah menikmatinya dengan berbagai keindahan
dan keasrian alam yang ada didalamnya.
Lewat kesaksian yang pernah aku alami,
konon pada suatu hari, guruku bercerita tentang kehebatan puasaka yang
mengandung tujuh unsure limu, bumi, langit, api, angin, cahaya, rasa dan
sinar.
Beliau mengibaratkan pusaka ini sebagai
sosok ahli ma’rifatullah. Yaitu, satu badan namun menguasai tujuh ilmu
Allah SWT. Secara keseluruhan, sang guru menambahkan lagi;
“Pusaka ini hanya ada lima dialam jagat
raya, dan semuanya telah dipegang oleh bangsa ahli laut. Diantaranya,
Nabiyullah Khidir as (Sulthonul Bahri), Raja Lautan (Sulthonul Ma’),
Raja Maimun (Sulthonul Jin), Dewi Cempaka Arum (Ibu Ratu), Dewi Nawang
Wulan (Kanjeng Ibu Ratu Kidul).”
Disaat guruku bercerita tentang bentuk
yang menjadi cirri khas pusaka yang luar biasa ini, aku sangat terkejut
mendengarnya. Sebab, bentuk pusaka yang diceritakan tadi persis seperti
pusaka yang dulu aku miliki.
Ya, dari cerita sang guru, akhirnya aku
berkisah padanya tentang kejadian 4 tahun yang lalu. Dimana aku pernah
memiliki pusaka yang baru saja diceritakan. Dari perjalanan kisahku,
sang guru berkali-kali geleng kepala dan terus menyimak ceritaku sampai
akhir. Lalu dengan suara lirih, guruk berkali-kali menyebut nama “Karara
Reksa”.
Setelah suasana tenang kembali, sang
guru mulai melanjutkan ceritanya. Namun tentunya setelah aku berkisah
tadi. Sang guru lebih focus bercerita yang diarahkan kepadaku. Diantara
cerita beliau tentang pusaka Karara Reksa.
Karara Reksa adalah pusaka pilih tanding
yang didalamnya mengandung tujuh kesempurnaan ilmu. Dari tujuh
kesempurnaan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu; raga, sifat dan
keyakinan.
Raga
Ilmu yang mempunyai pondasi “bumi
sebagai akhlak mulia”, rendah diri, sabar dan bertawaqkal, mengikuti
jejak dari Rasululullah SAW.
Sifat
Ilmu yang mengaruh ke sifat baburrahmat (kerohmatan) disini mempunyai tiga unsur, yaitu; langit, api dan angin. Langit, ilmu yang bersifat menengadah dalam suatu doa dari seorang makhluk terhadap Tuhannya. Api, ilmu yang mengarah ke sifat sidadah (semangat) baik dalam mencari sebuah ilmu, duniawiah maupun yang bersifat batin. Angin,
ilmu yang mengarah ke sifat derajat, dimana didalamnya telah terkandung
keluasan akal yang mengarah keberbagai tujuan hidup yang positif.
Keyakinan
Ilmu yang bersumber dari keyakinan hati
lewat suatu pemahaman, keluasan dan penghayatan diri. Lewat karomah
pusaka Trisula Karara Reksa, semua ilmu ini ada didalamnya. Nah,
keyakinan disini mencangkup 3 unsur, diantaranya; cahaya, rasa dan
sinar. Cahaya, penerimaan ilmu bersifat Robbani (ketuhanan). Rasa, penghayatan arti hidup menuju derajat mulia. Sinar, mengenal bangsa malaikat lewat kesidikan/kejujuran hati.
Dari tujuh sumber ilmu yang ada di
pusaka Trisula Karara Reksa, akan menyatu dengan pemiliknya seiring satu
persatu khodam yang menjaganya memberi kunci pembuka.
Nah, kata sang guru yang langsung
menatapku. Sungguh sangat disayangkan pusaka yang seharusnya dijaga
sebagai alat bantu menuju ilmu yang lebih tinggi, disia-siakan begitu
saja.
Dari penuturan sang guru, aku merasa
sangat bersalah bila teringat kejadian 4 tahun yang lalu. Ya, nasi sudah
menjadi bubur, mungkin inilah pepatah terakhir yang bisa aku ucapkan.
Sejak penuturan guru tentang cerita,
pusaka Trisula Karara Reksa, aku jadi malu untuk bertemu dengan guruku.
Ya, aku benar-benar bersalah yang tidak bisa menjaga pemberian bangsa
gaib.
Namun, seminggu kemudian, guruku
memanggilku dan memerintahkanku untuk meminta maaf kepada Nyimas Ratu
Ayu Dewi Nawang Wulan, sebagai hak waris pusaka Trisula Karara Reksa,
yang pernah diberikan kepadaku. Guruku berkata;
“Datanglah ke Pelabuhan Ratu. Bawalah
sarana yang diperlukan, berdzikirlah disana dengan tujuan meminta maaf.
Sesunguhnya pemberian pusaka, Trisula Karara Reksa adalah suatu derajat
bagi orang yang dipilih. Jangan sia-siakan waktu yang sudah terbuang
dan jangan terus berdiam diri.
Sesungguhnya, Ratu Ayu Dewi Nawang
Wulan, seorang yang dipilih oleh Nabiyullah Khidir as. Jangan sampai
terkena marahnya bila hidupmu ingin tenteram.”
Setelah aku diajari tentang cara bertemu
dengannya oleh guruku, besoknya aku berangkat menuju Pelabuhan Ratu,
Sukabumi. Bagaimana sesampainya disana…ikuti terus lanjutan yang lebih
mendebarkan dikisah berikutnya………BERSAMBUNG MAN…
Read More
Sejak guruku memberi maklumat kepadaku, untuk segera mungkin meminta
maaf kepadaku, Ratu Gaib Pantai Selatan. Karena kesalahan yang pernah
kuperbuat lima tahun yang lalu. Yaitu, mengabaikan pemberiannya dengan
membuang karangka pusaka nomor satu, Trisula Karara Reksa.
Dalam menanggung rasa bersalahku, setelah sang guru mengajarkan
tentang kepercayaan sebuah pemberiah, sejak itu pula aku mulai
bersemangat dalam hal ilmu supranatural. Intinya, aku ingin menebus
kesalahanku ini dengan menemui sang Ratu Pantai Selatan, Ibu Suri Dewi
Nawang Wulan.
Dari kesemangatanku, sang guru ilmu supranatural pada saat itu.
Alhamdulillah, sang guru tidak tinggal diam. Beliau selalu mengajari
tentang segalanya, hingga waktu yang telah ditentukan untuk datang
menemui penguasa gaib Pantai Selatan, terlaksana juga.
Tepatnya kamis dini hari, aku mulai berangkat menuju lokasi yang
dimana pantai tersebut diyakini sebagai tempat tinggalnya ratu gaib.
Setelah menginjak pantai pesisir Pelabuhan Ratu, pertama yang kucari
adalah juru kunci yang bernama, Aki Ismail. Lewat seorang tukang ojeg
yang biasa mangkal diterminal Pelabuhan Ratu, akhirnya kutemukan juga
rumah si Aki tersebut.
Mengapa aku memilih juru kunci yang bernama Aki Ismail? Sebab,
sebelum berangkat, guruku pernah berpesan, “Temuilah dahulu juru kunci
yang bernama Aki Ismail, mintalah saran kepadanya. Sesungguhnya beliau
sangat dekat dengan para penguasa pantai selatan.” Ujar sang guru.
Lewat antrian para tamu yang meminta pertolongannya, aku baru bisa
menemui Aki Ismail pada pukul 13.02 wib. Dengan senyum ramah, sang Aki
langsung bertanya, “Ananda dari Cirebon, ya?” Aku langsung mengangguk,
namun batinku mulai berkata, kok bisa tahu?
Dengan masih tersenyum simpul, sang Aki rupanya memahami apa yang sedang aku rasakan. Beliau langsung membuka percakapan.
“Anakku! Tadi malam itu, Ibu Ratu datang menemui disini. Bahwa nanti
besok akan kedatangan tamu yang kuangap sebagai anakku sendiri. Tamu itu
berasal dari Cirebon dengan cirri, membawa sarana, madat panjang
bergambar dua ekor naga sedang berhadapan,” terang sang Aki.
“Apakah kau bawa benda tersebut?” Jawab sang Aki. Sekali lagi aku
mengangguk tak habis pikir dengan apa barusan dikatakan si Aki tadi.
Aku merasa sangat kecil dihadapan sang Aki, yang tahu semua tentang
jadi diriku. Dan masalah madat panjang yang barusan dikatakan si Aki,
ya, memang aku membawa dari rumah lewat anjuran sang guru.
Singkat cerita, dengan pandangan si Aki. Hari itu juga, aku dan Aki
mempersiapkan segala saran yang dibutuhkan untuk ritual nanti malam.
Yaitu, berupa satu kambing warna belang talon, sembilan macam buah, dua
apel jin, kembang tujuh rupa, jajanan bersifat manis, kayu gahru dan dua
macam kemenyan lidi/hio.
Setelah semua sarana sudah terkumpul, selepas shalat Maghrib, kami
bersama masyarakat setempat menggelar syukuran dengan memotong kambing
tadi dan hanya kepala yang disisakan untuk larungan ritual nanti malam.
Tepat pukul 24.00 wib, aku dan Aki mulai menuju hotel Samudera Bech.
Dan yang dituju adalah, kamar 308, yang dipercaya sebagai
peristirahatan, Ibu Suri Dewi Nawang Wulan.
Kurang lebih satu jam, kami berdua ritual dikamar itu. Dan
selanjutnya, berpindah ritual di areal pantai lepas. Disitu niat kami
berdua langsung membuka ritual dan selanjutnya membuang sarana larungan
yang sudah kami persiapkan.
Namun, sebelum semua itu terjadi, masih dalam perjalanan menuju bibir
pantai, tiba-tiba gulungan ombak yang begitu besarnya menerjang kami
hingga semua sarang larungan yang kubawa terlepas, hanyut terbawa ombak
yang menurutku begit menakutkan.
Dalam keadaan basah kuyup, sang Aki memberi isyarat untuk terus
mengikuti sampai ke bibir pantai. Sambil menggigil kedinginan, aku terus
mengikutinya menyelesuri bebatuan yang banyak terdampar sepanjang
menuju bibir pantai. Tepat 10 meter dari bibir pantai, kami berdua
langsung memgelar ritual diatas batu bear. Ya, malam itu terasa
mengerikan bagiku yang baru petama kali menginjak daerah tersebut.
Setengah jam sudah aku mengikuti ritual bersama sang Aki. Dan sejak
itu pula hatiku selalu gelisah. Malam semakin larut dan sang Aki mulai
menyudahi ritualnya. Betapa bahagianya aku, sebab sebentar lagi aku juga
akan menyudahi dan ikut pulang bersama sang Aki, pikirku bahagia.
Namun, jauh dari yang kuharapkan, sang Aki berpesan, “Nak! Ka uterus
disini sampai Ibu Ratu menemuimu. Aku masih ada keperluan lain dirumah,”
terangnya.
Betapa terkejutnya aku atas ucapan sang Aki tadi. Berarti aku
ditinggal sendirian dalam ketakutan yang tak bisa kuceritakan. Malam
itu, aku benar-benar stress. Pikiranku kacau dan tak bisa terkonsentrasi
dalam ritual yang diberikan oleh sang Aki. Aku benar-benar ciut nyali
dan ingin rasanya kabur dari tempat itu.
Dalam rasa takutku yang teramat sangat, tiba-tiba ombak besar datang
menghantamku hingga aku terbawa arus yang begitu kuat menyeretku tanpa
bisa bernafas, aku langsung tak sadarkan diri.
Ditengah ketidak sadaranku, aku melihat dengan jelas, empat orang
dengan mengendarai kereta yang sangat indah datang menghampiriku. Dua
diantaranya aku sudah mengenal mereka, yaitu, Bomo dan Nyimas Andini.
Mereka berdua nii adalah sepasang suami isteri yang pernah datang
kekamarku, memberkan sebuah batu mustika bergambar macan loreng.
Sedangkan dua lainnya yang sudah uzur usia, baru kali ini aku
melihatnya. Dalam pengaruh aura yang kuat, aku sama sekali tak bisa
menolak ajakannya hingga kita berlima akhirnya pergi sambil menaiki
kereta yang begitu indah menuju suatu tempat yang belum pernah aku
rasakan sebelumnya.
Ya, sebuah istana megah dengan arsitektur bangunan yang begitu
sempurna. Sambil dikawal empat orang yang menjemputku tadi, aku mulai
menuju gerbang pertama yang dikawal empat orang prajurit.
Dengan penuh rasa hormat, para prajurit mempersilahkan kami berlima
untuk masuk ke pintu utama, yaitu sebuah pintu jati yang diukir sangat
rapi berbentuk pohon hanjuang (nama pohon tersebut0.
Diruangan pertama ini, ribuan gadis cantik menyambut kami berlima
dengan tingkah laku yang menggoda sifat kelelakian, mereka tak punya
rasa malu dan seolah baru melihat seorang lelaki. Yel-yel kata, kangmas,
pangeran, arjunaku dan lain sebagainya, selalu terucap dari bibir
mungil mereka.
Dari gelagat mereka yang sangat berani ini, membuat aku sampai
bertanya kepada Bomo. Menurut Bomo, “Bahwa Kanjeng Agung Ibu Suri,
mempunyai empat golonga/wabyabala dari berbagai makhluk lain alam.
Diantaranya, dari bangsa demit, Abdul Jumud, Jien dan manusia.”
Empat golonga ini terbagi menjadi dua macam aliran :
- Bangsa demi dan Abdul Jumud. Dua golongan ini, disebut
sebagai ahli aswad / golongan hitam. Mereka banyak menipu dan
menyesatkan bangsa manusia lewat sebuah mimpi. Seperti, mereka datang
dalam mimpi seseorang dengan mengaku sebagai Ibu Ratu Laut Kidul,
mengatakan bahwa dia adalah isterinya secara batin.
Mereka juga sering kali menipu manusia dengan sebuah iming harta
karun, dana goib dan mengatakan bahwa, Andalah manusia yang kuberi
amanat sebagai penjaga harta karunku dan lain sebagainya.
- Jin dan Manusia. Dua golongan ini termasuk ahli abyad /
golongan putih. Mereka banyak diperkejakan sebagai piñata ruangan,
memelihara taman, menjaga perpustakaan dan lain sebagainya. Intinya,
semua golongan ini punya prinsip masing-masing yang saling menjaga satu
sama lainnya.
Kembali kecerita tadi, setelah kami (berlima) masuk ke ruangan
pertama, keempat orang yang menjemputku langsung menitipkanku keorang
Aki-aki yang bernama, Tubagus Moyo. Salah satu dari keempat orang tadi,
berbisik ketelingaku, “Cukup aku mengantar sampai disini. Ananda akan
dibimbing oleh Tubagus Moyo.” Setelah itu mereka pergi.
Tinggal Tubagus Moyo yang memandangku penuh senyum. “Ananda! Sebelum
kamu masuk ke pintu Karara Bumi (pintu ruangan kedua), mari ananda aku
ajari ilmu Pangrimo Bumi (diterimanya sebagai keluarga istana Ibu Ratu
Agung) diantaranya bunyi ilmu itu sebagai berikut :
“Seniatku ngangga ajiku karara bumi. Wali songo bodah bumi,
nunggal ratu alam, girdoh galih tumae. Alam ratu syarat, bumi karara
langgeng, kewajibanku moncol, karunia bisor bisa kudu, bisa jagat
sewedi, niat ingsun buka alam. Sejatineng semesta pangeran kang duweni.
Jaluk pangabaran ing alam tresno kang tak tuju, urip dadi dalan, mati
dadi panolong kawula.”
Dalam kesempurnaan ajian ini ada satu ilmu lagi sebagai pembua
gerbang gaib, yang diantara ilmu itu bersifat pengendalian diri.
Sehingga dimanapun kita ditempatkan, baik dialam nyata maupun dimensi
kasat mata. Kita akan tetap merasa tenang. Namun sayang, ilmu ini tidak
bisa diijazahkan kepada siapapun juga. Karena bersifat pribadi.
Dari pelaran yang diberikan oleh Tubagus Moyo, aku sendiri akhirnya
memahami secara detail tentang ilmu, Karara Sukma Langgeng yang kudapat
dari Bapo Awu, sarat masuk keruangan kedua yang bernama Karara Bumi.
Untuk melengkapi kisah perjalananku kali ini, ikuti terus cerita selanjutnya…..
Read More
Dengan bantuan Tubagus Moyo yang mengajarkan ilmu, Pangrimo Bumi dan
pembuka gerbang gaib. Dari ilmu ini akhirnya aku diperbolehkan masuk
keruang kedua yang bernama
Karara Bumi.
Diruangan ini aku disambut beberapa ahli keraton, diantaranya seorang tokoh sakti zaman Padjajaran, Bopo Awu, namanya.
Konon, dari cerita Bopo Awu sendiri, setelah kita berdua, mulai
akrab. Beliau salah satu kepercayaan Prabu Siliwangi semasa hidupnya.
Pada masa itu, sebelum raibnya istana Padjajaran.
Bopo Awu ditugaskan Sri Baginda, untuk mendampingi kedua puterinya
yang mau berguru kesalah satu tokoh sakti asal Trusmi, Raden Mas Kuncung
Angah Buana. Namun, setelah kedua putrid ini tahu, bahwa istana
ayahandanya sudah raib, kedua puteri dari sang Prabu Siliwangi, Dewi
Nawang Wulan dan Dewi Nawang Sari.
Akhirnya ikut raib pula beserta empat puluh pengikutnya. Salah
satunya Bopo Awu sendiri. Mereka kedimensi lain yang kini terkenal
sebagai penguasa Pantai Selatan. Dari kedewasaan dan keluasan ilmu yang
dimiliki oleh Bopo Awu, Beliau banyak mengajarkan tentang hakikat ilmu
supranatural kepadaku, diantaranya ilmu keyakinan.
Sebab, menurut beliau, “Tiada ilmu yang bisa diharapkan menjadi suatu bibit, kecuali dengan keyakinan yang sempurna.”
Tambahnya lagi, “Semua ilmu adalah cahaya yang membentuk kekuatan
menjadi suatu karomah/keramat. Tiada ilmu yang bisa dirasakan kalau
belum mengenal keyakinan secara pasti. Ilmu tanpa wujud, namun bisa
diwujudkan. Ilmu tidak bisa diraba tapi bisa dirasakan. Semua itu
berpangkal dari keyakinan yang menunjung diantaranya, tirakat dan
beristikomah.”
Bertambah kagumnya aku dengan beliau. Bopo Awu juga mengajarkan ilmu,
Karara Sukma Langgeng, yaitu ilmu kesabaran yang berasal dari
unsur air. Diantara bunyi ilmu ini sebagai berikut…
“Ya Rasulullah 4x. Dzat Nur, karara sukma langgeng. Kasampurna
dzat alam makhluk kacipta fana. Solawat kang bahu rekso, syafaat kang
ngadusi ati. Begjo mulyo kasebat karara sukma langgeng. Turu dadino
banyu. Tangi dadino pangeling. Ucap dadino derajat. Meneng dadino
pangkat. Ya salam 9x (jangan bernafas).
Assolatu wassalamu ‘alaika ya sayyidi ya rasulullah khud biyadi
khoddokot khilati adrikni. Allhumma solli ‘ala saiyidinal fatihi lima
ungliko wal khotimi lima sabako wanna siril hakko bilhakki wal-hadi ila
sirotikal mustakim. Dzat nur karara sukma langeng.”
Dari pembedaran isi ilmu ini, Bopo Awu berpsan kepadaku, “Nak!
Carilah kesabaran diatas penderitaanmu sendiri. Sesungguhnya sabar dalam
dunia manusia, menerima segala cobaan dengan terus berusaha dan
semangat hidup.”
Sungguh sangat dalam pelajaran yang diberikan oleh Bopo Awu kepadaku
hingga aku merasa malu dan sangat takut, apalagi bila sudah meninggal
semua, kesalahanku tentang Trisula Karara Reksa.
Ya, aku benar-benar menangis pada waktu itu. Antara takut dan
kebimbangan. Apakah maafku diterima olehnya, terang batinku. Rupanya
dari kesedihan hatiku pada saat itu, Bopo Awu benar-benar menyalaminya,
hingga beliau mengajakku bersenang-senang kesebuah taman kaputren yang
bernama Sulasti Cempaka Seruni.
Taman ini, begitu luas dan sangat indah. Disamping taman terdapat
beberapa pohon buah-buahan yang siap petik. Ditengahnya terdapat sebuah
joglo yang begitu megah dengan ukiran yang terbuat dari emas dan
berlian.
Hampir semua taman ini ditanami pohon cempaka seruni atau menurut
bangsa manusia adalah tanaman derajat/bunga pembawa keberkahan. Bunga
cempaka seruni sendiri ada dialam nyata ini dan hanya tumbuh satu tahun
sekali yaitu, bulan Syawal. Tempatnya hanya ada satu, yaitu pertapaan
bekas Ir. Soekarno, bukit Gunung Panjalu (lihat bag – 1).
Setelah dirasa cukup berkeliling ditaman sulastri cempaka seruni,
Bopo Awu menyuruhku mandi dipancuran warna. Pancuran ini terdiri dari
lima mata air dengan warna yang berbeda. Merah, hijau, biru, pink dan
kuning. Dari lima mata air ini, semua ditampung dalam guci besar yang
berukiran dua ekor naga. Diguci inilah, Bopo Awu menyuruhku berendam.
Setelah mandi, Bopo Awu mengajakku melakukan ritual disebuah kamar
yang didalamnya terdapat dua kursi raja saling bersanding. Disini aku
mulai bergetar….ya, aku tak sanksi lagi. Dua kursi ini semua dipahat
membentuk Trisula Karara Reksa.
Aku mulai mengucurkan keringat dingin dan pikiranku mulai resah tiada
menentu. Disaat kegelisahanku mulai mempengaruhi saraf otakku, Bopo
Awu langsung mendekapku penuh kelembutan dan setelah itu, beliau
langsung membuka ritual dengan memakai bahasa kejawen, diantara ritual
Bopo Awu saat itu.
“Assalammu ‘alaikum…….wa’alaikum salam. Kaki semoro bumi, nini
semoro bumi, kulo haturkan dugi ing panggonan kula niki, sa’ perlu kulo.
Kulo nyuwun wayahepun kanjeng ibu nyambut dumaleng pengundang kaulo.
Kulo pasrahkan saking keyakinan ing duwur arso. (Undur 3x) tampio dumagi
kelawan bungah.”
Amalan ini kuijazahkan pada pembaca sekalian dengan syarat ketentuan,
puasalah selama 41 hari. Setiap tengah malam, ritualkan amalan ini
sebanyak 666x. Disaat mulai ritual, bakarlah kemenyan/madat gambar dua
ekor naga yang bisa dicari ditoko minyak dengan harga berkisar 1,7 juta.
Niscaya dari ritual ini Anda akan bertemu langsung dengan sosok
penguasa Pantai Selatan.
Kembali Keritual Tadi
Dari ritual ini yang dilantunkan oleh Bopo Awu, tiba-tiba hati dan
pikiranku merasa tenang dan tak ada rasa takut sama sekali. Kepasrahan
dan rasa yakinku mulai tumbuh, seiring Bopo Awu bertambah keras
melantunkan ritual ini.
Selang setengah jam dari ritual ini, tiba-tiba kedua kursi yang ada
dihadapanku bergerak dengan hebatnya dan setelah itu seberkas cahaya
yang ditimbulkan dari pusaka, Karara Reksa tiba-tiba hadir dan berputar
mengelilingi kami berdua sebanyak lima kali putaran, lalu raib entah
kemana.
“Anakku! Ibu sudah menunggumu,” terang Bopo Awu menyadarkanku.
Lalu, kamu berdua langsung keluar kamr, dan ternyata disitu sudah ada
dua prajurit yang siap mengantar kami. Dari balirung keputren, kami
berempat langsung menuju keputren Agung dan diteruskan menuju
pasembangan panembahan/ruang Kanjeng Ibu Ratu.
Saat menaiki tangga yang tertutup permadani warna emas kehijauan. Dua
prajurit tadi langsung berhenti dan mempersilahkan kami berdua
meneruskannya. Saat didepan pintu ukir kuning emas, Bopo Awu langsung
bersembah diri dengan posisi duduk sambil kedua tangan terangkat
kedepan. Sembah hormat, aku pun mengikutinya sambil menanti apa yang
bakal terjadi selanjutnya….
Tiba-tiba pintu terbuka dan ada suara yang menyuruhnya masuk. Setelah
Bopo Awu bersembah hormat tiga kali berturut-turut, kami berdua pun
masuk kealam ruangan yang sangat indah sekali.
“Selamat datang Anakku!” Suara perempuan yang begitu penuh
kharismadan tanggung jawab. Aku hanya mengangguk tanpa berani menatap
wajah ibu, yang begitu memancarkan cahaya kewibawaan.
“Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Aku memaafkanmu, Anakku!” Lanjutnya lagi.
“Berbaktilah kepada gurumu dan berjanjilah untuk berhenti dalam
duniamu. Bangunlah kuncup dan istirahatkan badanmu ditengah kuncup
tersebut. Carilah mahkota diantara tahta dunia. Jangan berbalik menoleh
selagi gurumu diam. Kecuali kalau gurumu yang memberi perintah.
Anakku! Amal bukan terlahir karena nama, tapi nama bisa melahirkan beribu amal. Silahkan kau boleh pergi Anakku!”
Sesampainya aku jauh dari kamar Ibu Ratu, aku bertanya pada Bopo Awu
tentang maklumat perkataan Ibu Ratu tadi. Lalu Bopo Awu membeberkannya
sebagai berikut…
“Menurutlah kamu pada semua perintah gurumu. Berjanjilah dalam hatimu
yang sangat dalam. Bahwa setelah kau mampu bikin suatu pesatren untuk
kemaslahatan orang banyak, beristirahatlah dalam dunia yang sedang kau
jalani (supranatural). Perbanyaklah beribadah dalam bangunan pesantren
tersebut. Gunakan waktumu mulai dari sekarang, dan carilah derajat
bersifat ukhrowi.
Anakku! Gurumu adalah mursyid yang harus kau patuhi semua ucapannya.
Bila gurumu mengijinkan kau menjadi seorang supranaturalis, jalanilah
dengan berlapang dada. Tapi bila suatu hari gurumu memberhentikanmu dari
seorang supranaturalis, berhentilah dengan rasa ikhlas dan tanpa beban.
Sebab, pahala seseorang bukan karena nama yang tersandang, tapi nama
inilah yang harus kau jaga hingga sampai hari pembalasan nanti
(kematian)… Sesungguhnya amal yang terbaik untukmu saat ini adalah,
perbanyaklah dengan bersodakoh kepada, ibu kandung, guru mursyid, anak
yatim dan orang-orang yang sedang zuhud kepada Allah SWT.”
Sejak kejadian ini, aku mulai banyak intropeksi diri dan siap-siap
melangkah kesuatu tuuan yang dianggap lebih mulia, tentuya. Semua ini
menunggu aba-aba dari guruku yang sejak sedari kecil mengajariku
berbagai sifat ilmu, baik yang mengarah kesifat duniawiyah maupun yang
bersifat ukhrowi.
Semoga dengan pengalamanku ini, ada hikmah yang bermanfaat untuk para pembaca sekalian