Bismillahirrohmanirrohiim.
Alhamdulillahi Robbil Alamin, segala
puji bagi Allah, yang telah mengutus Nabiyulloh Muhammad SAW, beserta
para Rosulnya. Semoga dengan pemahaman ilmu Hikam yang diajarkan
“Syaikhina wa- Murobbi waruhina” menjadikan kita mengerti ilmu
bathiniah menuju Allah SWT.
Dalam hal ini tak lupa kami
panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang selalu melimpahkan
rahmat serta salamnya kepada junjungan Nabiyulloh Muhammad SAW, sehingga
dengan pemahaman ilmu rasa terbaik yang pernah ada lewat karangan
Assyeikh Al- imam Tajuddin watarjumanul Arifin, Abul Fadli Ahmad bin
Muhammad bin Abdul Karim bin Abdur Rohman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa
bin Al- Husain bin Athoillah. mulai bisa diajarkan kembali.
Salam ta’dzim semoga Allah SWT,
senantiasa mencurahkan kefadholan-Nya kepada Assyeikh Al- imam Ahmad bin
Athoillah, yang mana beliau mengabdikan dirinya karena Allah, lewat
thorekot muttasil ila Rosulillah, dari sanad Assyeikh Abbas Al- Mursy,
dari gurunya Quthbi Assyahir Abu Hasan Assyadily, dari Quthbi Al- Kabir
Abdul salam bin Masyisi, dari Quthbi Syahir Abdul Rohman Al- Madany,
dari Quthbi Al- Kabir Taqiyyudin Al- Fuqoir, dari Al- Quthbu
Fakhruddin, dari Al- Quthbu Nuruddin Abul Hasan, dari Al- Quthbu
Tajuddin, dari Al- Quthbu Syamsuddin, dari Zaenuddin Al- Qozwainy, dari
Ibrohim Al- Basyri, dari Al- Quthbu Ahmad Al- Marwany, dari Al- Quthbi
Sa’id, dari Al- Quthbi Sa’ad, dari Al- Quthbu Fathussu’ud, dari Al-
Quthbu Sa’id Al- Ghozwany, dari Abu Muhammad Jabir, dari Awwalul Aqthob
Sayyidina Hasan bin Aly, dari Sayyidina Aly Karromallohul Wajhah, dari
Sayyidina Wamaulanan Muhammad Rosululloh SAW, dari Malaikatulloh Jibril
AS, dari Robbul Izzah Jalla Jallaluh.
Awal dan akhir, semoga dengan
pembedaran kitab “Hikam” kita semua bisa mengambil manfaat dan
tergolong ahli- Nya, lewat bimbingan Syaikhina wa- Murrobbi ruhi
wajasadi Akhinal Kirom ibnu Ahyad.
Sebab menjalankan Thorekot tanpa
guru pembimbing bagaikan kolam tanpa air, dan Thorekot tanpa sanad,
tidak akan sampai menuju Allah SWT. Karena menyebutkan sanad didalam
perjalanan mengikuti sifat Rosululloh SAW, wajib hukumnya. Dan bagi
orang yang tidak mengetahui silsilah atau leluhur (jid) dalam perjalanan
menuju Allah SWT, orang tadi Thorekotnya ditolak/ tidak diterima.
Alasannya; “Perkataannya dianggap tidak sah (Aku- aku) dalam
kemuttasilan suatu perjalanan menuju Allah SWT”
Disini, menyebut sanad dari suatu
Thorekot tanpa dasar atau wasilah guru, menurut makalah Rosululloh SAW;
“La’anallohu man intasaba ila ghoiri abihi” yang artinya; “Allah telah
melaknat orang- orang yang menyebutkan suatu perjalanan tanpa dasar/
terlahir dari orang tua (tidak mempunyai sumber) Maka secara runtut kami
sebutkan sanad muttasil dari guruku, panutanku serta orang tuaku dalam
mencari tabarrukan (Mengambil barokah) secara benar. Dan sesungguhnya
Mengerti nasab ilmu (orang tua/ guru) dalam pandangan agama itu lebih
penting dan utama daripada mengenal nasab didalam perut (orang tua
kandung)
Mengenal perjalanan Thorekot yang
dimaksud; “Suatu kesinambungan hati dari satu sanad ke lainnya sampai
menuju Rosululloh SAW, hingga kehadiarat Al- HAQ, Allah Jalaluh”
Maka dengan berpegangan makalah
Rosululloh tadi, kami meruntutkan perjalanan Thorekot ini dimulai dari
“Syaikhuna wa Murrobi ruhina” Yang mana beliau talaqqo’ala thoriqotoh
Assyadiliyyah, tabarrukan min thoriqis shufiyyah bittisolis sanadi ila
Rosulillah SAW, dari abi Syeikh Dimyati Al Bantani, bin Amin, dari
Syeikh Nahrowi Al- Jawi, dari Syeikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al- Jawi,
dari Syeikh Muhammad Soleh.
Juga Syeikh Dimyati, mengambil
talaqqo dari Syeikh Muhammad Baidhowi Alasemi, dari Syeikh Idris Jawil
Wustho Solo, dari Syeikh Muhammad Soleh yang sama dari Sayyid Aly Al-
Madani, dari Al Alamah Ahmad minnatulloh A- Azhar, dari Syeikh Muhammad
Al- Bahity, dari Al- Alamah Assyabasy, dari Al- Alamah Al- Ustad As-
sakadandari Assobagh, dari Assayyidi Muhammad Azzarqoni, dari Sayyidi
Aly- Al Ajhuri, dari Al- Alamah Annur Al- Qorofi, dari Syeikh Burhan Al-
Qolqosandy, dari Al- Alamah Abil Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abi
Bakrin Al- Washity, dari Al- Alamah Muhammad bin Muhammad Al- Maidumy,
dari Sayyidi Abi Abbas Al- Mursy, dari Quthbi wa Solihin Assayyid Abi
Al- Hasan Assyadili, dari Quthbi Al- Kabir AbduSalam bin Masyisi, dari
Quthbi Syahir Abdul Rohman Al- Madany, dari Quthbi Al- Kabir Taqiyyuddin
Al- Fuqoir, dari Al-Quthbu Fakhruddin, dari Al- Quthbu Nuruddin Abul
Hasan, dari Al- Quthbu Tajuddin, dari Al- Quthbu Syamsuddin, dari
Zaenuddin Al- Qozwainy, dari Ibrohim Al- Basyri, dari Al- Quthbu Ahmad
Al- Marwany, dari Al- Quthbi Sa’id, dari Al- Quthbi Sa’ad, dari Al-
Quthbu Fathussu’ud, dari Al- Quthbu Sa’id Al- Ghozwany, dari Abu
Muhammad Jabir, dari Awwalul Aqtob Saiyyidina Hasan bin Aly
Karromallohul wajhah, dari Saiyyidina wamaulana Muhaammad Rosululloh
SAW, dari Malaikatulloh Jibril AS, dari Robbul Izzah Jalla Jalluh.
Mukoddimah
Ilmu tasawwuf dalam pandangan ahlul
ulama; “Secara rinci mereka menafsirinya lebih dari 2000 pemahaman.
Namun dalam banyaknya penafsiran yang mereka kemukakan, pada intinya
keluasan tadi menjurus pada satu kaedah yang bisa digabungkan dalam satu
penafsiran “Sidku Tawajjuh Ilalloh” yang artinya; “Sebatas mana
kebenaran kita dalam menghadap kepada Allah SWT ?”
Dalam pandangan dasar, dimana kita punya
kesungguhan dalam menghadap kepada Allah, maka disitu pula ada bagian
untuk bisa mengenal ilmu bangsa tasawwuf. Namun dalam mengenal kedekatan
ini semuanya harus berlandaskan tatacara serta mengikuti hukum yang
sudah menjadi syareat dari ketentuan Alah SWT (fikih/ syareat Islam).
Maka dalam hal ini kita tidak bisa
menghadap kepada Allah SWT, apabila dalam perjalanannya nanti tanpa
dilandasi dengan amaliah bangsa Islamiyyah.
Juga,,,, pengertian kita tidak bisa
sampai, dalam pengenalan ilmu bangsa tasawwuf kecuali dengan menjaga
makna Islam (tingkah laku) Sebab tidak ada fikih yang sempurna dalam
diri manusia kecuali dengan berpegangan ilmu tasawwuf. Hal semacam ini
pernah dikemukakan oleh imam Malik, yang menyatakan;
“Orang yang memegang ilmu tasawwuf tanpa mengerjakan hukum Islam (fikih) maka orang itu tergolong kaum Zindik” (kafir Zindik);
“Bagi yang mengerjakan Islam tapi tidak
menjalankan hukum tasawwuf, orang itu tergolong ahli Fasik. Adapun bagi
yang menjalankan keduanya, fikih dan tasawwuf, mereka disebut golongan
ahli Tahkik”
Yang dimaksud dengan orang tasawwuf
tanpa menjalankan hukum Fikih (Zindik) “Mereka mengatakan Hakekat tapi
tidak mengerjakan Syareat” seperti memahami ilmu bathin tapi tidak
menjalankan ilmu bangsa syareat.
Mengenal terjadinya zindik, karena
mereka tidak mengikuti syareatnya Nabi Muhammad SAW, dan juga tidak
tunduk atau tidak mengakui dengan apa yang sudah dibawa oleh Nabiyulloh
Muhammad SAW. Dengan kata lain, mereka paham tapi tidak mengakuinya/
meyakini, maka sebab itu golongan ini dinamakan kafir zindik.
Sedangkan yang dimaksud orang Fikih yang
tidak menjalankan hukum tasawwuf (fasik) “Semua amalnya bukan karena
Allah” Alasanya; “Ihlas yang terdapat dalam diri manusia tidak dapat
diperoleh kecuali dengan jalan ilmu tasawwuf”
Lalu yang dimaksud dengan tahkiknya orang yang menjalankan tasawwuf dan fikih;
“Mereka selalu menjaga antara Syareat
dan Hakekatnya dohir dan bathin” atau menjaga amaliah Islam dan Ihsan
secara utuh. Dalam pandangan lain, mereka bisa menerapkan arti hidup
menuju jalan kebajikan selamanya.
Mempelajari ilmu tasawwuf menurut imam
Gozali, hukumnya fardhu Ain (Wajib) Alasan wajib disini karena sifat
manusia tidak pernah lepas dari aib dan penyakit kecuali para Ambiya
wal- Mursalin atau golongan Arifin Kamalat.
Bahkan Imam Assyadili memberikan pendapatnya;
“Orang yang tidak mengerti ilmu
tasawwuf, maka meninggalnya dalam keadaan membawa dosa besar tanpa
mereka menyadarinya” Maksud dari perkataan ini mereka mati dalam keadaan
hina dimata Allah SWT (Karena kurang memahaminya hukum dan kewajiban,
sewaktu mereka masih hidup).
Mengenal pandangan ilmu tasawwuf,
pengambilannya bukan bersumber dari ilmu lisan melainkan diambil dari
segi pemahaman rasa dan penemuan/ dhaukiyyah. Dan luasnya ilmu tasawwuf
tidak bisa diambil dari sekedar buku tapi harus melalui bimbingan
Ahlulloh yang telah memahami ilmu rasa (Min ahli Adzwak)
Sebagai ilmu bangsa bathin, ilmu
tasawwuf juga tidak bisa diambil hanya dari qila wa qola (Katanya) akan
tetapi harus dengan “Hidmatur Rijal”/ khidmat kepada Mursyid warosatil
Ambiya’ atau dengan perjalanan “Wasuhbati ahli Kamal”/ Berteman dengan
ahli yang memahami ilmu bangsa Ilahiyyah. “Wallahi ma aflaha man aflah, illa bisuhbati man aflah/
Demi Allah, tidak akan bahagia orang yang bahagia kecuali berteman
dengan orang yang bahagia” maksud dari perkataan ini; “Dimana kita ingin
menyelami ilmu bangsa tasawwuf, maka harus bisa berteman dengan para
ahli rasa yang memahami ilmu bangsa Ilahiyyah/ tasawwuf”
Menurut imam Abu Qosim Al- Junaedi;
“Kalau saya tahu diatas langit ada ilmu yang lebih utama dari tasawwuf,
niscaya saya akan datang mencarinya” Hal semacam ini menunjukkan bahwa,
ilmu tasawwuf sangat diwajibkan untuk kita pelajari (Ilmu paling
tertinggi)
Sedangkan menurut imam Saqili; “Orang
yang benar dalam mempelajari ilmu tasawwuf disebut ahlul Khosoh,
sedangkan yang memahami dan mengamalkannya disebut Khususul Khusus dan
bagi yang mempunyai dhaukiyah dalam menyimpulkan ilmu tasawwuf serta
mengamalkannya dinamakan, Bahrun bila Sahil (lautan tanpa batas) atau Nadzmun Alladzi la Yudrok (Bintang yang tiada banding)
Mempelajari ilmu tasawwuf tidak akan
bisa luas kecuali dengan bimbingan Syaekhun Kamil. Dan yang dimaksud
Syaekhun Kamil, disini adalah;
“Alladzi yurihuka minatta’ab, Lalladzi yadulluka ala ta’ab/ guru yang mengistirahatkan kita dari kemasyakotan dan bukan guru yang membebani kepada muridnya”
Yang dimaksud dari pembedaran tadi
adalah, guru yang menunjukkan jalan kepada Allah dan memberikan penataan
bathin untuk melupakan hawa nafsunya. Sebab dalam pengertian
sebenarnya, kalau bisa melupakan hawa nafsu, maka yang terjadi, kita
akan selalu ingat kepada Allah.
Seperti yang terserat dalam Al- Qur’anul Karim; “Wadzkur Robbaka idza nasita”/ Ingatlah kepada Allah, sewaktu kamu melupakan hawa nafsunya.
Mengenal masyakot yang terdapat dalam
diri manusia, semua terjadi akibat ingatanya hanya tertuju pada
kepentingan hawa nafsunya belaka, tanpa mau berfikir manfaat lainnya
yang sudah jauh tertanam dalam sifatnya sendiri” Dengan kata lain, tidak
bisa mengambil pelajaran/ hikmah, dari kejadian yang ada.
Juga seperti perkataan Rosululloh SAW;
“Innalloha ja’ala rouha warrohata firridho wal yakin/ Allah menciptakan ketenangan (senang) dan kebahagiaan (merasa enak) sewaktu kita dalam keadaan ridho dan yakin”
Ilmu tasawwuf terbagi menjadi (4) bagian;
1- Tadzkir wal- Wa’di,
(Ilmu yang bisa meningkatkan/ memberi pencerahan terhadap badan kita)
Hal semacam ini dikhususkan bagi kalangan awam agar lebih meningkatkan
tasawwufnya ke jenjang ahli khosoh. Dan tahapan ini bisa dipelajari
lewat karangan imam Ibnu Zauji dan imam Muhasibi, atau bisa juga lewat
pemahaman yang diambil dari permulaan kitab “Ihya” dan “Qut” karangan
imam Gozali atau karangan setingkat lainnya.
2- Membersihkan A’mal
(Untuk Meningkatkan amal ibadah kita agar lebih baik dalam menata
tingkah laku) Cara seperti ini bisa dilakukan dengan menjaga bathin
secara istikomah dan menghiasinya dengan ahlakul Mahmudah, atau dengan
cara mensucikan dari sifat Ausoful Madmumah/ sifat yang tercela.
Tasawwuf ini bisa dipelajari dari beberapa karangan imam Gozali dan imam
Syahro Wardi.
3- Untuk mewujudkan
Ahwal, Maqomat dan Ahkamul Adzwak wal Manazilat (Memahami beberapa
hukum rasa dan kedudukan) Pemahaman ini hanya dimiliki golongan
tertentu yang sudah menjadi bagian dari orang- orang mulia yang
berasal dari Muridin atau Mubtadiin minal Arifin. Dan tasawwuf ini bisa
dipelajari dari Hikam atau karangan imam Hatimi, dan imam Al-Buny,
dalam kitab “Manazilat”.
4- Untuk memahami
kema’rifatan dan ilmu- ilmu bangsa Ilahiyyah. Ilmu ini tercipta bagi
golongan Arifin Sa’ir, yang memahami keluasan ilmunya agar bisa sampai
ketingkat Arifin Siddik. Dan tasawwuf ini bisa dipelajari dari kitab
Hikam, Tanwir dan Lathoiful Minan. Yang mana semua karangan tadi berasal
dari satu muallif, Al- Imam Ibnu Athoillah Al- Askandari.
Karena Maksud dan tujuan tasawwuf itu “Sidkut Tawajjuh Ilallah Wattaqorrubu Ilaih”
(Sebatas mana kebenaran kita menghadap dan mendekatkan diri kepada
Allah) maka dalam hal ini diharuskan untuk berpegang/ I’timad kepada
Allah semata, dan bukan kepada lainnya. Dan termasuk selain Allah,
adalah; “Amal ibadah kita sendiri”
Disini kyai Musonnif mengatakan dalam pemahaman tasawwufnya;
Artinya;
Setengah dari tanda dan alamat berpegangan pada amaliah kita/ selain Allah, yaitu;
“Lemahnya harapan kita sewaktu jatuh mengerjakan maksiat atau kurangnya amal ibadah kita (Jatuhnya sesuatu yang kita pegang)
Makna lain dari pembedaran ini;
“Berpegang kepada amal dalam pandangan para ahli Arifin termasuk
Madmumun” Dan tandanya orang yang berpegang pada amal;
“Kurangnya harapan sewaktu jatuh terhadap maksiat atau sewaktu lemahnya ibadah kita”
Terjadinya I’timad terhadap amal itu termasuk Madmumum, dikarenakan amaliyahnya timbul dari “Rukyatun nafsi” (melihat badan kita sendiri) atau “Nisbatul amal ila nafsi” (Menisbatkan amal pada diri kita sendiri)
Keterangan.
Orang yang I’timad selain Allah, terbagi dalam (2) bagian;
1. Ubad/ Abidun.
2. Muridun/ Salikun.
Yang dimaksud dengan Ubad/ Abidun;
“I’timad terhadap amal dengan mengharapkan ingin masuk surga dan
merasakan kenikmatanya serta dijauhkan dari azab neraka”
Adapun yang dimaksud dengan Muridun; “I’timad terhadap amal didalam mengharapkan Wusul Ilalloh wakasyful Astar Anil Qulub, Wahusulul Ahwal Alqoimati biha wal Mukasyafatu wal Asror”
(Mengharapkan wusul kepada Allah dan terbukanya hizab dalam hati. Atau
yang dihasilkan dari maqomat/ ahwal, dan terbukanya sir)
Adapun pandangan Arifin? Mereka melihat,
bahwa dirinya tidak mempunyai sesuatu apapun, terlebih sampai I’timad
terhadap apa yang keluar dari badanya, seperti amal- amal ibadah.
Jadi Arifin melihat bahwa fa’il yang Hakiki itu adalah Allah, dan dirinya hanya sekedar tempat keluarnya amal- amal.
Alamatnya orang Arifin; “Fana’ atas
dirinya sendiri” Jadi tatkala Arifin jatuh terhadap maksiat/ goflah,
maka Arifin melihat pada ketentuan Allah, yang jatuh kepadanya. Begitu
juga sewaktu takwa/ musyahadatul qolbiyyah, pandangan Arifin sama sekali
tidak melihat khoul dan quahnya.
Penjelasan;
Jadi bagi ahli Arifin, sama sekali tidak
mempunyai perbedaan dalam pandangan antara thoat dan maksiat didalam
masalah roja’ dan khoufnya. Sebab Arifin tergolong “Gorikun fi bihari
tauhid” yang artinya; “Khouf dan roja’nya Arifin itu sama. Maksud dalam
pembedaran roja’ dan khoufnya tidak berkurang sewaktu jatuh terhadap
maksiat dan tidak bertambah sewaktu thoat atau musyahadah qolbiyyah.
Alasannya, sebab khoufnya Arifin timbul dari Syuhudul Jalal dan roja’nya
dari Syuhudul Jamal. “Wajalalulloh Wajamaluhu layatagoiyironi
biziadatin wanuksonin” artinya; sifat Jalal dan Jamalnya Allah, tidak
berubah dengan bertambah atau berkurangnya amal. Dan orang yang tidak
menemui alamatnya orang Arifin, maka harus mujahadah dan riyadho sampai
tingkat makom Irfan.
. Melihat sesuatu karena Allah, terbagi (2) bagian;
- Qodlo Qodarnya Allah (Kepastian/ ketentuannya Allah)
- Muqdlo ‘Alaih Maqdur bihi (tingkah laku kita)
Apabila kita memandang Qodlo, wal Qodar,
maka kita harus menerima (ridho) dengan segala ketentuan Allah, baik
didalam masalah takwa, maksiat, nikmat ataupun musibah.
Tapi sewaktu memandang “Muqdlo ‘Alaih
Maqdur Bihi”/ tingkah laku kita yang sudah ditentukan Allah SWT, maka
melihatnya dengan cara pandangan berbeda.
Seperti disaat kita mendapatkan suatu
kenikmatan, maka yang dilakukannya wajib bersyukur dan sewaktu
mendapatkan suatu musibah maka harus menerimanya dengan rasa sabar diri.
Juga sewaktu bisa bertakwa, yang kita
lakukan adalah Syuhudul Minnah./ melihat kenikmatan yang diberikan Allah
SWT, dan sewaktu jatuh pada maksiat, maka wajib secepatnya kembali
kepada- Nya (Allah) dengan melakukan taubat (Arruju’ Ilalah) untuk
menjaga kembali adab kita kepada-Nya.
Yang dimaksud Qodlo wal Qodar;
“Ketentuan Allah pada zaman azalli” dan yang dimaksud dengan Muqdlo
‘Alaih Maqdur Bihi; “Pekerjaan yang dihadapkan saat ini”
Maksud dari perkataan tadi; “Tidak ada suatu perbedaan bagi Arifin tadi cuma dalam hal khouf dan roja’nya saja.
Adapun dalam menghadapi masalah
ketakwaan dan maksiat, mereka menyikapinya dengan dua arah yang
berlawanan, sebab; “Fariqun fil jannah wa Fariqun Fissa’ir”/ satu
golongan masuk surga dan satu golongan lagi masuk neraka.
Faedah
A’mal menurut ahli Sufiyyah, terbagi menjadi (3) bagian;
1- Amalatu Syareat, atau bisa juga dinamakan;
Amalul Islam
Amalul Ibadah
Amalul Bidayah
Amalul ahli Awam
2- Amalatu Thorekhot, atau bisa juga dinamakan;
Amalul Iman
Amalul Ubudiyyah
Amalul ahli Wasthi
Amalul ahli Khusus
3- Amalatul Hakekat, atau bisa juga dinamakan
Amalul Ihsan
Amalul Ubudah/ khurriyyah (Merdeka)
Amalul ahli Nihayah
Amalul ahli Khususul Khusus
Yang dinamakan A’mal Syareat, adalah;
“Anta’budahu” yang artinya; “Ibadah kita kepada Allah” atau bisa juga dinamakan “Mim Babi Lama’buda Bihakki Ilallah” (Tidak ada yang wajib disembah kecuali Allah)
Inti dari A’mal Syareat; “Menjaga
anggota dohir agar lebih baik” Bisa juga dengan Cara; “Menjauhkan
larangan Allah, dan mengikuti perintah- Nya”
Menjaga anggota dohir terdiri dari (3) bagian;
- Taubat. (Merubah sifat jelek menjadi baik. Dan menjaga kebaikan menuju sifat yang lebih baik)
- Takwa. (Menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya)
- Istikomah. (Menjaga keseimbangan amal yang sudah kita jalankan)
Yang dinamakan Amalut Thorekot, adalah;
“Antaksidahu” yang artinya; “Tidak ada yang dituju kecuali Allah SWT” A’mal ini bisa juga dinamakan “Mim Babi Lamaksuda Bihakki Ilallah” (Tidak ada Dzat yang wajib dituju kecuali Allah)
Inti dari Amalut Thorekot; “Menjaga
bathin kita agar lebih baik” Atau bisa juga dengan cara; “Menghilangkan
sifat Madmumah/ tercela, dan menghiasinya dengan sifat Mahmudah/ sifat
yang terpuji”
Menjaga bathin, itu terdiri dari (3) bagian;
- Ihlas. (Memahami segala sesuatunya karena Allah)
- Sidik. (Menjaga kejujuran sampai membuahkan sifat tenang)
- Thuma’ninah. (Tenangnya hati dan pikiran yang timbul dari kebiasaan Mujahadah)
Yang dinamakan Amalul Hakekat, adalah;
“Antasyhadahu” yang artinya; “yang dilihat hanya Allah” bisa juga dinamakan “Mim Babi Lamasyhuda Bihakki Ilallah” (Tidak ada Dzat yang dilihat kecuali Allah)
Inti dari Amalul Hakekat; “ Untuk
menjadikan Ruh/ sir, lebih baik” Atau bisa juga dengan cara; “
Menghinakan Ruh/ sir, sehingga terbiasa terhadap adab dan tawaddu’ kita
serta menjadikannya ahlak terpuji dihadapan Allah.
Menjaga Ruh/ sir, terdiri dari (3) bagian;
- Muroqobah. (Sepertinya Allah selalu hadir dihadapan kita)
- Musyahadah. (Pandangan kita hanya tertuju kepada Allah)
- Ma’rifat. (Memahami Allah dan ciptaanya dengan cara adab)
Disisi lain, kita tidak boleh pindah
dari amaliah Syareat, menuju amaliah Thorekot, sebelum bisa mewujudkan
amaliah Syareat itu sendri, seperti contoh;
“Mewujudkan Taubat dengan syarat-
syaratnya, atau, mewujudkan Takwa dengan rukun- rukunya, serta
mewujudkan Istikomah dengan bagian- bagiannya”
Yang dimaksud Istikomah dengan bagian-bagiannya, yaitu;
“Mengikuti tingkah laku dan adab kita kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, dalam segala Akwal, Af’al dan Ahwal”
Dalam pandangan lain, apabila dohir kita
sudah terjaga dan tetap berpegangan dengan amaliah Syareat, niscaya
kita bisa pindah menuju amaliah bangsa Thorekot bathin (Dengan tidak
meninggalkan kewajiban Syareat dengan membersihkan diri dari sifatul
Basyariah) dan apabila sudah bersih dari sifat Basyariah, niscaya kita
bisa pindah menuju amaliah Hakekat, dengan jalan menghiasinya lewat
sifat Ruhaniyyah, atau menata adab kita kepada Allah SWT.
Sebab siapapun yang telah menduduki
maqom ini, niscaya segala sesuatunya telah lepas dari sifat masyakot dan
yang ada dalam dirinya hanyalah husnul adab dengan Allah SWT.
Tanbihun :
Ketahuilah,,,,, wahai saudaraku!!!.
Pokok utama seorang murid dalam menjaga adab terhadap gurunya (Mursyid)
adalah dengan cara Mahabbah/ kecintaan. Dan bagi murid yang belum bisa
mewujudkan rasa cinta/ masih mengutamakan kepentingannya sendiri, maka
murid tersebut tidak selamat dalam perjalanannya kelak.
Sebab kecintaan seorang murid terhadap
gurunya merupakan martabat kekal yang wajib dipelihara. Alasanya,,,,,
keagungan derajat yang dimilikinya, akan membawa kita menuju puncak
tertinggi dihadapan Al Haq Allah Jalla Wa’ Ala.
Memahami adab seorang murid, ulama ahli Thorikoh mufakat :
Setengah dari murid yang siddik (benar)
“Mereka mau mengikuti segala ajaran gurunya untuk selalu bertaubat
kepada Allah, dan membersihkannya dari sifat tercela” Dan setengah dari
syarat murid dalam batasan Mahabbah; “Orang itu selalu menutup telinga
dari perkataan orang lain selain gurunya sendiri”
Bagi seorang murid yang telah memahami
makna kecintaan, mereka lebih mengutamakan guru daripada keperluan
pribadinya (diatas segalanya) Dalam makna lain, murid tidak perduli
dengan cemohan orang banyak, sekampung atau se-kota, atas pribadi
gurunya, karena cemohan mereka, tidak menjadikan hatinya berubah.
Juga disaat murid dihadapkan dalam
kepailitan duniawi (jatuh miskin) sampai tidak bisa makan, minum selama
beberapa hari lamanya, hati murid tetap tegar dan tidak berubah dalam
mencintai gurunya. Pemahaman ini diambil dari keterangan kitab; “Anwarul
Qudsiyyah fi Qowaa’idis Shufiyyah”
Memahami keagungan seorang guru
(Mursyid) Al- Imam Sya’rony, juga mengemukakan pendapatnya lewat nukilan
dari beberapa ahli Arifin, yang dituangkan dalam kitab; “Thobaqothul Kubro”
Murid yang siddik (benar) setiap
mendengar mauidzoh gurunya, mereka langsung mengamalkannya dengan penuh
keyakinan dan tanpa keraguan sedikitpun. Maka secara ilmu Tasawwuf,
murid yang bisa menjalankan khidmatnya terhadap Mursyid, derajatnya sama
dengan gurunya atau tidak ada suatu perbedaan, kecuali keagungan
Mursyid disini akan selalu mencurahkan rahmatnya terhadap murid.
“Dan orang-orang yang beriman sedang
keturunannya mengikutinya dalam keimanan, niscaya kami pertemukan mereka
dengan keturunannya (di surga) dan kami tiada mengurangi sedikitpun
dari amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya”
Muhimmatun (Hal yang penting)
- Hakekotul Islam; “Orang yang tidak bisa meninggalkan ibadah lahir”
- Hakekotul Iman; “Orang yang tidak bisa menoleh kepada selain Allah sewaktu beribadah (Tidak bisa meninggalkan Ihlas)”
- Hakekotul Ihsan; “Orang yang tidak bisa menoleh kepada selain Allah Fi Kulli Haalin (Disetiap waktu/ keadaan)
Adapun kedudukan manusia (Murid) belum
bisa dikatakan pindah dari satu amaliah ke lainnya, seperti, amaliah
Syareat menuju bangsa Thorekoh, atau dari amaliah Thorekoh menuju bangsa
Hakekat, kecuali dengan isyaroh bangsa Robbani atau Bisyarotil Mursyid
Kamil/ isyaroh dari seorang guru Mursyid. Dan yang dinamakan Mursyid
disini; “Guru yang bisa melepaskan kita dari makna masyakot dan bukan
guru yang membebani muridnya” atau secara luas; “Guru yang memberikan
kita kenikmatan, baik yang bersifat derajat, ilmu, ketenangan hati juga
wasilah menuju tingkat Ma’rifat Billah” dengan kata lain, guru yang
mengenalkan kepada Allah SWT.
Mengenal makna kenikmatan/ lepasnya kita
dari sifat masyakot, itu tidak bisa terwujud kecuali dengan melewati
penderitaan. Karena Rosululloh, sendiri dalam hal ini pernah berkata;
“Huffatil jannatu bil makarih” yang artinya; “Surga itu diapit dengan
segala yang tidak menyenangkan”
Tatimmatun (Kesempurnaan)
Perjalanan I’timad (Berpegangan) dalam pandangan Tasawwuf dibagi menjadi beberapa bagian;
- I’timad ‘Alannufus, alamatnya; “Orang ini masih berpegang dalam pandangan sifat cilaka” (menuruti hawa nafsunya)
I’timad ‘Alal ‘Amal, alamatnya “Adamut Tahakkuki bil Zawal” yang artinya; ”Tidak bisa memahami Hakekatnya barang yang tidak abadi”
I’timad ‘Alal Karomah wal Ahwal, Alamatnya; “Adamu Suhbati Rijal” yang artinya; “Tidak berteman bersama dengan ahli Rijal Kamilin/ guru Mursyid”
I’timad Alalloh, alamatnya; “Tahakkukul Ma’rifat Billah” (Berpegangan hanya karena Allah, itu sudah menjadi wujud dari suatu pemahaman kepada-Nya)
Tujuan Al- Musonif menerangkan kalimat; “Min ‘alamatil I’timadi ‘alal ‘amali nuqsonur rojai ‘inda wujudiz zalali”
untuk memberikan pencerahan dan meningkatkan Himmah seorang murid agar
jangan sampai berpegangan selain kepada Allah. Dalam pandangan ini
jangan sampai diartikan bahwa kita tidak menyukai terhadap amal. Sebab
a’mal itu termasuk bagian dari; “Sabab ’Adi fi wusul ilallah” (Bangsa adat didalam wusul kepada Allah) Juga bukan bermaksud merendahkan; “Nata ijul ‘amal” (Buah dari beberapa amal) seperti Husulul Ahwal dan lainnya. Sebab, Natajul ‘Amal itu; “Minnatun minallah layanbagi rodduha” (Anugerah dari Allah yang tidak boleh ditolak”
Setengah dari I’timad kepada Allah,
yaitu; “Berpegangnya kita (Tafwid) terhadap segala ketentuan Allah”
(Menjalankan riyadho atau meninggalkannya harus sesuai dengan Irodah/
ketentuan Allah)
Maksud dari perkataan ini apapun yang keluar bukan dari hawa nafsu melainkan ketentuan langsung dari Allah SWT.
Maka sebab ini kyai Musonnif menjelaskannya secara rinci:
Berharapnya kita terhadap maqom Tajrid
serta menempatkannya Allah, ke maqom Asbab, itu dari “Syahwatul
Khofiyyah”/ keinginan hawa nafsu yang samar. Dan berharapnya kita
terhadap maqom Asbab serta menempatkannya Allah, ke maqom Tajrid, itu
turun dari himmah yang luhur.
Keluasan :
Kita harus Duhulun Wahurujan Minallah
(Melaksanakan dan meninggalkan Asbab dan Tajrid, harus Minallah, bukan
terlahir dari syahwat/ nafsu) Sebab sewaktu menginginkan sesuatu, maka
keinginan tadi mudah sekali mempengaruhi hawa nafsu kita.
Tanbihun :
Memahami makna “Duhulun wahurujan
Minallah” secara pemahaman luas yang dinukil dari Syaikhina wa- Murobbi
waruhina, bahwa, Syahwatul Khofiyyah/ keinginan hawa nafsu yang samar,
atau nafsu amarah, bisa saja dijadikan permulaan/ penyemangat Thorikoh
menuju Allah SWT. Hal semacam ini sebagai pemicu awal dari kesemangatan
orang-orang yang baru mengenal ilmu bangsa Ilahiyyah, (Maqomul Awam)
sehingga dengan I’timad/ berpegangan, pada suatu tujuan, bisa
menimbulkan semangat tinggi dalam perjalanan ibadah.
Dalam mengenal Thorikoh, siapapun akan mengalami suatu I’timad, sebelum mereka memahami tingkatan bangsa “Antasyhadahu” (Yang dilihat hanya Allah) karena perjalanan Tasawwuf tidak bisa kita rasakan kecuali melalui beberapa tahapan dasar “Anta’budahu dan Antaksidahu” (Islam dan Iman)
Memahami ilmu Tasawwuf juga tidak bisa
luas kecuali dengan bimbingan guru Mursyid, sebab hakekotnya murid
tergantung dari ridhonya Mursyid. Dan murid yang mengikuti perjalanan
gurunya (murid siddik) niscaya derajatnya sama dihadapan Allah SWT, hal
semacam ini tercipta bagi murid yang telah memahami adab dan
kecintaannya terhadap Mursyid (mendahulukan kepentingan guru daripada
kepentingan pribadinya)
Keterangan 1:
Yang dinamakan Tajrid yaitu, Lepasnya
kita dari kesibukkan sifat duniawi (In- qitho) menuju Ihlas ‘Alallah.
Dan Tajrid disini menurut ahli Sufiyyah, terbagi menjadi (3) bagian :
- Tajrid Dhohiru Faqot
- Tajrid Bathinu Faqot
- Tajriduhuma Ma’an.
Makna dari “Tajrid Dhohiru Faqot” Meninggalkan sesuatu yang menyibukkan anggota badan untuk bertakwa kepada Allah.
Makna dari “Tajrid Bathinu Faqot” Meninggalkan sesuatu yang menyibukkan hati untuk hadir kepada Allah.
Makna dari “Tajriduhuma Ma’an” Mensucikan hati dan anggota, kepada Allah.
Adapaun orang yang Tajrid Dhohirnya saja
tanpa disertai Tajrid bathin, menurut pandangan ahlul Arifin orang
tersebut masih dikatakan kadzib/ bohong. Namun secara pandangan minas
Solihin, orang tadi masih terbilang bagus dalam hal ‘Amal.
Sedangkan orang yang Tajrid Bathinya
saja tanpa disertai Tajrid Dhohir, menurut ahli Tasawwuf terbilang
bagus. Sebab sewaktu dhohirnya tidak Tajrid, kebanyakan bathinnya akan
turut serta mengikutinya.
Secara umum, apabila dhohir yang ketarik bathin, itu lebih baik dari pada bathin yang ketarik dhohir.
Tatakrama (adab) maqom Tajrid ada (4) bagian :
1. Menghormati orang yang punya maqom tinggi dihadapan Allah SWT.
2. Mengasihi terhadap orang kecil (Orang-orang yang tidak memahami ilmu Tasawwuf)
3. Adil/ insof, pada hawa nafsu sendiri (Memilah antara yang baik dan buruk)
4. Tidak menolong hawa
nafsu sendiri. Dengan kata lain, sewaktu memahami barang yang keluar
dari hawa nafsu kita, maka kita tidak mengikutinya.
Keterangan 2:
Ciri dari orang yang ditempatkan pada
maqom Asbab yaitu; “Memudahkannya Allah, terhadap asbab hamba- Nya
sehingga bisa bertakwa dengan mengikuti kewajiban wadzifah dari
Mursyidnya sampai selamatnya kita dari sifat thoma’.
Sewaktu kita menempati maqom Asbab, yang
paling utama bagi kita adalah memahami hukum Allah, yang bersangkutan
terhadap asbab itu sendiri dengan menjalankan kewajiban serta menjauhi
larangan- Nya, hingga terlepasnya kita dari sifat Thoma’/ mengharapkan
sesuatu yang bukan milik kita.
Jadi, maqom Asbab maupun Tajridnya
seseorang itu tergantung Allah yang menempatkan. Bisa juga perpindahan
suatau maqom atas ijin Musyid Kamil, yang sudah memahami kedudukan
bangsa Robbaniyyah, sehingga Asbab dan Tajridnya murid bisa sampai
dihadapan Allah SWT, bukan yang keluar dari hawa nafsu kita
Mengharapkannya kita ke maqom Tajrid
serta menempatkannya Allah ke maqom Asbab, itu tergolong Syahwatul
Khofiyyah. Sebab mengharapnya kita disini tidak sesuai dengan apa yang
dikehendaki Allah SWT, melainkan timbul dari keinginan nafsu Syahwat
(bukan Allah yang menempatkan kita, melainkan nafsu kita sendiri yang
menginginkannya)
Sedangkan yang dinamakan Khofiyyah
(nafsu yang samar) “Tujuan lahir kita bagus tapi bathinya mengikuti hawa
nafsu” seperti contoh, ingin jadi orang masyhur, terkenal, mempunyai derajat tinggi dan lain sebagainnya.
Hal semacam ini seringkali terjadi pada
ahli Thorekoh, yang kurang memahami makna Uluhiyyah, atau kurang
dekatnya murid terhadap Mursyid, sehingga dengan lemahnya ilmu Tasawwuf
yang kita miliki menjadikan racun dikemudian hari.
Memahami maqom Tajrid dan Asbab, para ahli Arifun, berpendapat; “Iqbalunnas alal murid qobla kamalihi tsummun qotil”
yang artinya; “Penghormatan manusia terhadap murid yang belum sempurna,
lewat sanjungan maupun kemasyhuran namanya akan menjadikannya racun
yang mematikan. Sebab kemasyhuran seorang murid bisa membunuh derajatnya
sendiri, apabila bukan Mursyid sendiri yang menempatkannya.
Keterangan ini dinukil dari min jami’i ahli Arifun.
Keterangan 3:
Yang dinamakan Asbab, satu ibarat dari
sesuatu yang bisa menyampaikan terhadap bangsa duniawi dengan mengikuti
peraturan hukum Allah, serta menjalakan segala asbab yang sudah ada.
Adabnya orang Asbab mempunyai (4) macam.
1. Menemani orang baik.
2. Menjauhi orang yang fasik (banyak melakukan maksiat)
3. Melakukan sholat berjamaah.
4. Mengasihi Fuqoro wal Masakiin.
Tanbihun :
Dalam memilih teman, menurut Syaikhina wa Murobbi waruhina, terbagi menjadi (2) bagian;
- Bisa diambil manfaatnya, baik secara lahir maupun bathin.
- Bisa diambil manfaatnya walau sekedar sifat dunyawiah.
Adapun yang tidak mempunyai manfaat atau sampai menggangu kehidupan kita, maka orang tersebut wajib dijauhi.
Orang yang sudah menduduki maqom Asbab,
akan lebih baik baginya bila menjalankan adabnya maqom Tajrid. Dan
setengah dari adabnya orang yang sudah menduduki maqom Asbab;
“Melaksanakan segala perintah Allah, dari beberapa asbab yang sudah ada,
seperti, dagang, mencari nafkah dan lainnya, sampai Allah
menempatkannya pada maqom Tajrid” Namun pemahaman ini tidak bisa terjadi
kecuali lewat bimbingan Mursyid maupun dari isyaroh bangsa Robbani.
Intinya, kita harus diam pada satu maqom sampai Allah menempatkan pada maqom lainnya.
Kama Qola fi Tanwir; “Walaesa sya’nu antatruka sababa bal- sya’nu aiyatrukaka assababu”
yang artinya; “Tingkah laku yang baik terjadi bukan karena kita yang
meninggalkan Asbab, tapi Asbab yang meninggalkan kita” seperti contoh;
“Tidak ada satupun ahlul Ma’arif, yang meninggalkan ibadah, tapi ibadah
itu sendiri yang meninggalkannya sewaktu Syuhud atau fana’ kepada Allah”
Pemahaman semacam ini hanya bisa
dilaksanakan oleh maqom Arifun atau Zadabiyyah, yang sudah memahami
Sifat dan Dzatnya Allah. Sedangkan kita sebagai ahlul Thorikoh, wajib
mengikuti hukum bangsa Syareat atau A’mal yang sudah diajarkan oleh
Mursyid.
Sebagai keluasan murid dalam menerapkan
ilmu Tasawwuf, tidak dibenarkan baginya menjalankan insiatif sendiri
untuk suatu perpindahan maqom ke lainnya, seperti, Tajrid tanpa ijin
Minallah, atau atas dasar petunjuk Mursyid, itu sama halnya seperti
Asbab. Sedangkan Asbab dengan ijin Allah atau petunjuk Mursyid,
kedudukannya sama seperti Tajrid.
Terjadinya Tajrid yang disamakan seperti
kedudukan maqom Asbab, sebab keluar nya dari hawa nafsu. Dan sebaliknya
Asbab yang kedudukannya sama dengan maqom Tajrid, karena Asbabnya
menuruti terhadap ketentuan yang sudah ditempatkan oleh Allah, atau
melalui petunjuk Mursyid.
Jadi, dengan mengikutinya kita terhadap
sesuatu yang sudah ditempatkan oleh Allah/ petunjuk Mursyid, termasuk
bagian dari ahli Thorekoh Ubudiyyah, dan perjalanan Ubudiyyah kepada
Allah disini, dinamakan Tajrid.
Ringkasan maqom Tajrid dan Asbab, terbagi menjadi dua bagian, yaitu, Mamduh (Terpuji) dan Madmum (Tercela)
Yang dinamakan Mamduh;
“Menempatkannya kita terhadap hal-hal
yang sudah ditempatkan oleh Allah. Dan ciri dari orang yang mempunyai
maqom Mamduh, mereka tetap menjaga amaliyah dan Muafaqoh dengan hukum
Syara’nya” (sesuai dengan peraturan agama)
Yang dinamakan Madmun;
“Mengikutinya kita terhadap hawa nafsu atau amaliyahnya tidak sesuai (tidak Muafaqoh hukum Syara’)
Diantara contoh ahli Tajrid dan Asbab
yang ditempatkan dalam maqom Mamduh; “Berjalannya Dua orang hamba yang
diposisikan berbeda namun satu tujuan, satu ditugaskan untuk bagian
dalam (ahli Tajrid) dan satunya lagi ditugaskan bagian luar (ahli Asbab)
Alamatnya Allah, menempatkan ke maqom
Tajrid; “Memudahkannya Allah terhadap kita didalam masalah rejeki dengan
tanpa mengerjakan sebab- sebab seperti pada umumnya. Ciri orang yang
menduduki maqom ini, tiada keresahan baginya dalam menghadapi sifat
duniawiyah sehingga mereka tetap aksis menjalankan wadzifahnya ibadah.
Perpindahan maqom Asbab, dengan ditempatkannya ke maqom Tajrid, itu “In- Hithotun ‘Anil Himmatil Aliyyah”
Sebab Tajrid itu dinamakan, Inqitho ilallah, karena lepasnya kita dari sifat duniawi menuju maqom yang lebih luhur.
Mengenai kedudukukan maupun keluhuran
(Inqitho’ Ilallah) apabila kita menginginkan pindah dari maqom yang
sudah tinggi menuju yang lebih rendah (campur dengan mahkluk) maka
tujuan kita jatuh dari derajat keluhuran menuju kerendahan. Atau turun
dari Wilayatul Kubro ke Wilayatu Sugro.
Tatimmatun/ Kesempurnaan.
Maqola Syeikh Abd, Qodir Al- Jaelani;
“Dimana Allah, menempatkan hambanya pada
salah satu maqom, disitu pula kita harus menerimannya tanpa boleh
memilih atas pemberian-Nya, seperti memilihnya kita terhadap derajat
yang lebih tinggi maupun sebaliknya yang lebih rendah. Sebab tatkala
harus memilih derajat yang lebih tinggi, niscaya yang keluar bukan
Muthmainnah melainkan hawa nafsu. Juga sebaliknya tatkala kita memilih
derajat yang lebih rendah, maka kita termasuk orang bodoh yang
menggantikan suatu keafdholan menuju derajat sebawahnya”
Juga sewaktu mengharapkannya kita pada
“Darus Sulthan” kita tidak boleh langsung menerimanya sebagai satu
perintah atau menela’ahnya dengan hawa nafsu, tapi harus dikaji ulang
secara matang, bisa juga dimusyawarahkan terhadap Mursyid.
Sebab dalam perjalanan ilmu, ijin yang
sekali itu terkadang sekedar mencoba dan kita harus sabar menerimannya
sampai beberapa kali banyaknya atau secara dipaksa, seperti contoh ;
Disaat kita menjalankan kasbi namun setiap kali selalu gagal, dan
sewaktu berdiam diri kita tidak kekurangan rijki, maka tandanya Allah
telah menempatkannya kita ke maqom Tajrid.
Jika kita sudah paham dengan terjadinya
beberapa kali ijin atau dipaksa, maka Sulthan tidak akan meng- azab
dengan pekerjaan kita. Dan biasanya kita terkena azab itu terkadang
timbul dari sifat serakah atau kurang ridhonya kita dengan apa yang
sudah ditempatkan oleh Allah.
Pemahaman “Darus Shulthon, terbagi (3) bagian :
- Bisa dalam lingkungan Allah.
- Bisa dalam lingkungan Nabi.
- Bisa dalam lingkungan penataan Mursyid.
Apabila kita masuk ke “Darus Sulthon”
maka kita harus menundukkan kepala penuh tatakrama dengan menjaga yang
sudah diperintahkan Syara’ yaitu, dengan Khidmat atau Ta’dzim dan
lainnya. Dan masuknya “Darus Sulthan” disini bukan untuk mencari
keluhuran, pangkat dan derajat. Riwayat ini di nukil dari maqola imam
Sya’roni, dalam kitabnya “Thobaqotul Kubro”.
Bisanya kita harus “Duhulun wahurujan minallah”
karena keinginan dan pekerjaan kita yang tidak sesuai dengan ketentuan
Allah. Hal semacam ini bagi ahli Thorekoh sama sekali tidak berfaedah,
sebab ketentuan Allah itu tidak bisa dirubah dengan kuatnya Himmah
kita.,,,,,,,,,,,Maka dari itu kyai Musonnif berkata.
Artinya :
Batas ketentuan Allah itu tidak bisa dirubah dengan kuatnya semangat kita.
Wal- makna :
Kita harus bersemangat dalam mencapai
tujuan serta memperbanyak berpasrah diri kepada Allah SWT, semua ini
karena kita melihatnya pada apa yang keluar dari ketentuan-Nya, seperti
Syaikhuna mengatakan; “Alaika ya akhi bisawabikil himmami wataslimi” yang artinya; “Wahai saudaraku, bersemangatlah untuk mencapai tujuan dengan disertai kepasrahan diri kepada Allah SWT”
Secara luas, supaya kita paham bahwa
yang memberikan hasil dan gagalnya suatu tujuan, bukan terlahir karena
kuatnya Himmah kita melainkan Allah yang mengabulkan. Dan pemahaman ini
untuk mengingatkan pula terhadap kita (hamba) yang hanya bisa
menjalankan perintah namun tidak mempunyai hak dalam memilih atau
menentukan suatu keberhasilan maupun kegagalan sebuah tujuan.
Yang dimaksud Himmah; “Kuatnya tujuan
hati, untuk mendapatkan sesuatu. Apabila tujuan itu mulia, seperti
Ma’rifatillah dan mencari ridho Allah, maka kuatnya tadi dinamakan Himmatul Aliyyah. Dan kalau tujuan kita rendah, seperti, mencari kedudukan, pangkat duniawi dan lainnya, maka dinamakan Himmatun Daniyyatun (Himmah yang rendah)
Semangat yang menggebu itu tidak bisa membuahkan sesuatu kecuali dengan Qodlo wal Qodarnya Allah.
Jadi apabila orang Arifun, menghadapi
sesuatu dengan semangatnya, maka kalau Arifun menemukan Qodlo wal
Qodarnya Allah SWT, muafaqoh dengan apa yang di inginkannya, maka itu
tanda izin Allah SWT. Dan kalau tujuan Arifun tadi tidak muafaqoh dengan
apa yang di tentukkan Allah, maka Arifun harus bertatakrama kepada
Allah, dan mengembalikan pada sifat tujuannya semula yaitu Ubudiyah.
Jadi tidak harus bingung dan susah, sebab sudah mengembalikan Himmah
pada tempat dan sifatnya.
Maksud dari keluasan disini, bagi ahli
Arifun bersemangat dan berpasrah diri kepada Allah, itu adalah suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan. Adapun hasil tidaknya suatu tujuan
yang diharapkan, ahli Arifun tidak berhak menentukan. Apabila tujuan
yang dimaksud di kabulkan, berarti sudah ada dalam Qodlo wal Qodarnya
serta sudah mendapatkan ijin dari Allah SWT, sedangkan kalau belum
dikabulkan, maka ahli Arifun, harus mengembalikan ke sifat Ubudiyah
semula sebagai seorang hamba yang hanya sekedar menjalankan perintah.
Faedah :
Syeikh Abdul Karim bin Ibrohim Al- Jeily, menjelaskan dalam kitabnya insanul kamil, bahwa “Himmah Aliyyah”
itu termasuk keagungan dari sesuatu yang dititipkan terhadap manusia.
Sebab tatkala Allah menjadikan sesuatu dan dihadapkan kepada-Nya, maka
semuanya istigol (menyibukkan) dengan diri sendiri.
Sewaktu Allah, menciptakan Himmah, dan
Himmah dhadapkan kepadanya, maka Allah menemukan Himmah (istigol) kepada
Allah SWT, maka Allah sendiri berfirman: “Dengan keagungan dan
kemulyaanku, aku jadikan Himmah sebagai suatu kemulyaan yang melebihi
Nur lainnya . Dan siapapun tidak sampai terhadap Himmah kecuali
orang-orang mulia”.
Sewaktu Himmah mencari Sesuatu yang
dituju dengan istikomah ditempatnya maka menghasilkan apa yang Himmah
tuju. (cara syareat/ Hakikatnya ijin Allah) Semacam ini sebagai tujuan dari kuatnya hati
hingga melahirkan apa yang kita harapkan, inilah makna dari Hakikatnya
“Manjadda wajadda” / siapa yang bersungguh-sungguh niscaya akan
menemukannya.
Secara pandangan luas, kita tidak bisa
sampai kepada Allah, kecuali dengan penuhnya Himmah. Sebab sewaktu
Himmah (kuatnya tujuan hati) kita tidak penuh, maka Himmah gampang
sekali pecah dari keyakinan kita.
Istikomah Himmah itu ada (2) alamat :
- Alamat Haliyyah: meyakini hasilnya sesuatu yang kita cari seperti firman Allah; “Ana inda dzo’ni abdih” yang artinya: “Saya (Allah) tergantung keyakinan hambaku”.
- Alamat Fi’liyyah: Berdiam dan
bergeraknya kita harus mencocoki atau muafaqoh dengan apa yang dituju
Himmah, dengan kata lain, gerak kita sesuai dengan tujuan kita.
Apabila kita tidak sampai mengikutinya
(Gerakan dan tujuan beda) separti contoh: “Kita ingin Ma’rifat, tapi
tindakkan kita masih mencari/ menuruti hawa nafsu” maka tidak dinamakan Sohibul Himmah, melainkan dikategorikan dalam “Sohibu amalin kadzibatin wa amanin khoibatin” yang artinya: “Orang yang punya angan-angan yang bohong dan keinginan yang rugi”.
Karena Himmah Sabiqoh (menggebu) itu
tidak bisa merubah ketentuan Allah (Qodo wal Qodar) maka kita tidak usah
tadbir dan ihtiar (Memilih atau memikirkan hasilnya suatu pekerjaan)
Karena tadbir dan ihtiar itu tidak
berfaedah, dan yang memfaedahi semuanya itu Allah SWT. Dan hal yang
tidak berfaedah (bagi Arifun) itu Fudhul (kelebihan) yang tidak usah
kita pikirkan atau pusingkan bagi orang yang punya akal, maka kyai
Musonnif menerangkan….
Artinya:
Kita harus membuang Tadbir (angan-angan
yang menghukumi terhadap hasilnya sesuatu) sebab hal yang jadi Hak
Allah, itu tidak akan bisa menjadi hak kita.
Wal- Makna.
Kita harus mempunayai adab kepada Allah,
dengan tidak usah memikirkan maupun menentukan atau mengatasi segala
sesuatunya yang menajadi Hak Allah. Yang harus kita angan-angankan
(pikirkan) serta kita atasi dalam perjalanan hidup (Thorikoh) hanya pada
sesuatu yang menjadi ketentuan dan kewajiban kita sendiri sebagai
hamba, seperti, dzikir, ibadah, dan ubudiyyah lainnya.
Yang dinamakan Tadbir, menetapkan
(memusingkan) sesuatu hal yang belum terjadi, baik yang ditakutkan atau
diharapkan (musibah atau kenikmatan).
Tadbir yang tidak diperbolehkan apabila
dengan bertahkim (menghukumi/ mengharuskan) terjadinya hasil dari
sesuatu, dan apabila Tadbirnya dengan bertafwid (berpasrah diri) maka
itu Tafsil (terbagi)
Kalau Tadbir yang bangsa uhrowiyyah,
maka dinamakan niatun solihatun (niat yang baik) kalau bangsa watak,
maka dinamakan syahwat (jibillah/ sifat manusia) kalau bangsa dunia
dinamakan umniyyah (angan-angan)
Apabila yang dimaksud Tadbir dan Ihtiar itu berusaha, maka hukumnya Mathlub (disunnahkan) atau Jawaj (diperbolehkan)
Tadbir dibagi (3)
- Tadbir Madmum.
- Tadbir Mathlub (disunnahkan)
- Tadbir Mubah (diwenagkan)
1- Yang dinamakan Tadbir Madmum, yaitu,
tadbir yang disertai dengan menetapkan atau menghukumi suatu masalah,
baik dalam permasalahan duniawi maupun agama.
Sebabnya dinamakan Madmum karena terlalu
sedikitnya tatakrama kita kepada Allah, dan hal semacam ini mempercepat
kesusahan kita sendiri. Maka Syeikh Ahmad bin Masyruq, mengatakan: “Mantaroka tadbir fahuwa fi- rohatin” artinya: “ Siapa yang meninggalkan tadbir akan mendapatkan ketenangan” dan Rosululloh SAW, mengatakan: Innalloha ja’ala rouha warrohata firridho wal yakin” artinya: “Allah menciptakan ketenangan dan kebahagiaan sewaktu kita ridho dan yakin”.
Sedangkan menurut Syeikh Abu Hasan Asy-Sadili, beliau mengungkapkan sebagai berikut: “Latahtar min amrika syai’an wahtar ‘ala tahtaro mindzalikal muhtar wamin firorika wamin kulli syaein ilallohi” yang artinya:
“Sewaktu kita ditempatkan pada satu
maqom satu kedudukan, maka kita tidak usah memilih terhadap maqom lain
dan memilihlah untuk tidak memilih. Dan kita harus lari dari pilihan
kita, dan larilah kita dari lari kita terhadap sesuatu selain Allah. Dan
kita harus lari kepada Allah”.
Maksud dari tujuan Syeikh Abu Hasan
Asy-Sadili, dimana kita sudah ditempatkan pada satu maqom atau kedudukan
pasti, maka kita wajib taslim dan menerimanya tanpa boleh memilih
lainnya yang bukan hak kita, sebab dalam perjalanan tasawwuf,
ditempatkannya hamba pada satu kedudukan adalah bagian dari sifat
muridun, kecuali perpindahan maqom ini terlahir dari bisyaroh bangsa
Robbani atau ijin Syaikhun Kamil.
Allah bersabda: “Warobbuka yahluku mayasya’u wayahtar” yang artinya: “Allah menciptakan apa yang dikehendaki dan dipilihnya”
Juga Ulama berpendapat: “Siapa orangnya
yang tidak Tadbir, maka orang itu akan di Tadbir” yang dimaksud dari
tujuan tadi adalah? “Siapa orangnya yang tidak memikirkan hasil (yang
penting bersemangat) maka orang itu akan dipikirkan bayarannya”. Dan
menurut pendapat Syeikh aly: “Setengah dari sifat Wali Kamal, mereka
tidak membutuhkan sesuatu apapun kecuali yang sudah ditentukan/
digariskan oleh Allah”.
2- Yang dinamakan Tadbir Mathlub:
“Menetapkannya kita terhadap sesuatu yang sudah diperintahkan, baik yang
bersifat wajib maupun sunnah, serta bertafwidnya kita (pasrah diri)
terhadap sifat Irodat dan melihatnya pada ketentuan Qudrotnya Allah
SWT, cara Tadbir seperti ini dinamakan Niatun Solehatun”
3- Yang dinamakan Tadbir Mubah:
“Menetapkannya kita terhadap hal-hal yang bersifat
duniawiyyah/Thobi-iyyah, dengan bertafwid kepada Allah, serta melihat
Qudrat-Nya”.
Dalam penegasan Tadbir, Rosulullloh SAW, berkata: “Attadbir nisfu a’is”
yang artinya: “Tadbir itu sebagian dari usaha”. Namun Tadbir Mubah
disini adalah, kalau dijalankan menuju kemanfaatan, tapi kalau sama
sekali tidak bermanfaat, maka dinamakan Thulul Amal/ panjangnya
angan-angan.
Sebagai penegasan lebih lanjut mengenai
Tadbir Mubah, Rosululloh berkata: “Yang Aku takutkan dari umat-Ku,
mereka banyak mengikuti hawa nafsu dan panjangnya angan-angan”.
Jadi kesimpulannya -Hak- itu ada (2) bagian:
Hakkur Robbani.
Hakkul Ubudiyyah.
Yang dinamakan “Hakkur Robbani” adalah Hakekatnya Allah, seperti memberi pahala, menyiksa, menurunkan dan menahan rijki serta yang lainnya.
Yang dinamakan “Hakkul Ubudiyyah” adalah Haknya hamba, seperti menjalankan ibadah, aurod, usaha dan lain sebagainya.
Bila kita sudah paham antara haknya
Allah, dengan haknya kita sebagai hamba, maka kita wajib berfikir
terhadap apa yang menjadi haknya kita dan tidak usah memikirkan haknya
Allah, sebab bila sampai kita memikirkannya, maka termasuk su’ul adab
atau tergolong bagian dari orang-orang Jahlun Makdun (Kebodohan yang murni) sebab, sekuat apapun kita memikirkannya tidak akan merubah ketentuan Allah.
Sebagai contoh kecil dari sifat Jahlun makdun, seperti memikirkan pahala, siksaan dan lainnya.
Cara semacam ini termasuk dari Tadbir
Hakkulloh, yang menandakan kurangnya adab serta sedikitnya Ma’rifat kita
kepada Allah, sehingga menunjukkan sifat tertutupnya mata hati kita.
Sedangkan meninggalkan Tadbir kepada
Allah, itu menandakan terbukanya mata bathin kita. Jadi Tadbir kepada
haknya Allah, itu menandakan tertutupnya mata hati, dan meninggalkan
tadbir kepada Allah, menunjukkan terbukannya mata bathin.
Begitu juga “Mimbabi insani wafadlihi wamin haesu wa’dihi fil Qur’an” bersungguh-sungguhnya
kita terhadap semua yang sudah ditanggung oleh Allah, dengan janjinya
yang sudah terserat dalam Al-Qur’an: “Innalloha layuhliful mi’ad”
yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janjinya” dan
teledor kita terhadap apa yang seharusnya kita sungguh-sungguh (Min Hakkil Abdi)
itu juga menunjukkan tertutupnya mata bathin kita, dan Tafwid kita
terhadap sesuatu yang sudah ditanggung oleh Allah, dan
bersungguh-sungguhnya kita terhadap apa yang seharusnya kita
bersungguh-sungguh, maka menandakkan terbukannya mata bathin kita.:
Maksud dan tujuan “Minbabi insani wafadlih, dan Min Hakkil abdi”;
Sebagian tertutupnya mata bathin kita dikarenakan banyaknya mengejar
apa yang sudah menjadi haknya Allah (bukan haknya hamba) serta
teledornya kita terhadap apa yang seharusnya kita tuju (kurangnya
semangat)
Sedangkan Tafwid (pasrah diri) terhadap
apa yang sudah ditentukan Allah, serta bersemangat terhadap apa yang
menjadi haknya (hak hamba) maka semacam ini menunjukkan bagian dari
terbukannya mata bathin kita. Oleh sebab itu kyai Musonnif mengatakan:
Artinya:
Bersungguh-sungguh kita terhadap sesuatu
yang sudah ditanggung Allah, Minfadli insani, dan kecerobohan kita
terhadap sesuatu yang seharusnya kita bersungguh-sungguh, itu
menunjukkan tertutupnya mata bathin kita.
Wal- makna:
Kita harus bersungguh-sungguh terhadap
haknya kita, seperti ibadah atau lainnya, dan kita harus taslim terhadap
haknya Allah, seperti menerimanya kita terhadap banyak sedikitnya rijki
dan lainnya.
Yang dinamakan “Ijtihad” (bersungguh-sungguh) yaitu: “Memaksimalkan suatu semangat dan kekuatan kita didalam mencari sesuatu”. Dalam kata lain, selalu bekerja keras didalam menggapai segala yang kita cari” (manjadda wajad)
Yang dinamakan “Taksir” (teledor) yaitu: “Menyia-nyiakan kesempatan yang ada”.Dalam kata lain, membuang setiap waktu dengan kemalasan kita.
Yang dinamakan “Basyiroh” yaitu: “Pandangan hati” (melihat sesuatu dari wujud maknannya) Dengan kata lain, Selalu melihat kebajikan yang tersirat (Ma’rifat Billah)
Yang dinamakan “Basor” yaitu: “Pandangan lahir”. (Memandang apapun dilihat dari lahirnya saja)
Tanbihun:
Seperti yang diriwayatkan dalam satu Hadits:
Salah satu sahabat bertanya kepada baginda Rosululloh SAW:
“Ya Rosululloh!…Siapakah Wali-Wali Allah yang sama sekali tidak mempunyai rasa takut dan susah di akherat nanti”? Maka Rosululloh-pun menjawab:
“Orang yang memandang dunia dengan
bathinnya, sewaktu manusia lain memandangnya dengan hanya lahirnya saja.
Dan orang yang menginginkan kenikmatan di akherat dengan jalan
duniawinya, sewaktu orang lain menginginkan kenikmatan ini hanya di
dunia semata”.
Sewaktu kita dalam perjalanan dan
sebelum mencapai tujuan, kita sudah meninggal dunia, maka termasuk orang
yang sudah mencapai puncak tujuan mulia (Allah akan memberikan derajat
Ma’rifat dan dikumpulkan baginya dengan orang-orang ahlul Arifun)
Sebab siapapun yang dalam perjalanan
hidupnya selalu mencintai ilmu ke-Ma’rifatan namun meninggal sebelum
meraih tujuan yang dimaksud, maka kedudukannya sama dengan orang
Ma’rifat.
Seperti dalam satu Hadist diriwayatkan: “Siapa
yang meninggal dalam perjalanan haji, maka termasuk orang yang sudah
berhaji dan siapa yang meninggal dalam perjalanan Jihad, maka termasuk
orang yang sudah jihad. Begitu juga orang yang berjalan mencari
ke-Ma’rifatan kepada Allah, maka kedudukannya seperti orang yang sudah
Ma’rifat”
Juga penjelasan kalam Allah yang tersirat dalam Al- Qur’an
“Wamaiyahruj mimbaitihi muhajiron
ilallohi wa-Rosulihi tsumma yudrikuhul mauta faqod waqo’a ajruhu
‘Alalloh. Wakanalloha gofurorrohima” (surat Annisa’ ayat 100, juz 4) yang artinya:
“Barang siapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju) maka sungguh telah
ditetapkan pahalannya disisi Allah. Dan sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang”
Begitu juga dengan apa yang sudah dijelaskan dalam satu Hadist:
“Siapapun orangnya yang meninggal dalam keadaan mencari ilmu yang bermanfaat, maka kedudukannya dibawah satu tingkat ke-Nabian”.
Syeikh Aly mengatakan: Alamat orang yang ma’rifat kamil: “Orang yang tidak menginginkkan sesuatu kecuali yang ditempatkannya” Dan dalam satu Hadist diriwayatkan:
Pada suatu hari Rosululloh SAW, melihat gunung Uhud, beliau berkata:
“Banyak sekali dari umatku (ahli Ma’rifat) yang satu ucapan tasbihnya, keutamaanya lebih besar dari gunung Uhud.
Juga maqola Rosululloh lainnya yang mengatakan: Berjama’ah dengan orang yang dapat ampunan dari Allah (Ma’rifat) maka orang yang berjama’ah tadi ikut pula dapat ampunan dari-Nya”
Yang dimaksud kyai Musonnif disini:
Kita harus taslim terhadap sesuatu yang sudah ditanggung oleh Allah: “Min ihsanihi wamin fadlihi wamin wa’dihi fil Qur’an wamin haesu hakkihi”
(Dari kebaikan dan kefadholannya Allah, serta janjinya Allah dalam Al-
Qur’an dan bukan dari haknya Allah/ kewajiban Allah). Sebab tidak wajib
bagi Allah, sesuatu yang bersangkutan dengan mahkluknya.
Jadi kita hanya bisa menjalankan haknya
sendiri sebagai hamba (min Hakkil abdi) dengan bersungguh-sungguh
terhadap apa yang menjadi kewajiban kita seperti, dzikir, sholat dan
lainnya. Sebab Allah mengatakan dalam surat Addzariat:
“Wama kholaktul jinna wal insa illaa liya’buduun” yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya menyembah-Ku”
Juga dalam surat Annajmu:
“Wa’an laesa lil-insani illa maa sa’a” yang artinya: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
Tanbihun:
Dalam suatu Hadist Qudsy Allah mengatakan:
“Wahai ibnu Adam, Aku menjadikan
semua mahkluk untukmu dan saya jadikan kamu untuk-Ku, jadi sembahlah Aku
dan janganlah kamu tunduk terhadap selain-Ku”
Dalam surat Atthur: Kullu nafsin bima kasabat rohinah (Kita akan terikat dengan apa yang dikerjakan)
Jadi apabila kita bersungguh-sungguh
terhadap apa yang sudah ditan ggung oleh Allah, dan apabila kita teledor
terhadap apa yang menjadi kewajiban kita, maka kita termasuk orang yang
buta hatinya.
Seperti dalam Al-Qur’an: “Waman kana fihadzihil a’ma wahua fil-akhiroti a’ma wa adhollu sabila” yang artinya:
“Apabila di dunia ini kita sudah dibutakan mata bathinnya maka di akherat nanti kita akan lebih buta dan salah jalannya”
Maka yang dimaksud dalam Al-Qur’an: “Wujuhui yaumaidin nadhiroh ila Robbiha nadziroh” yang artinya: “Pada waktu itu muka berseri-seri karena bisa melihat kepada Allah” (surat Al-Qiamah)
Keterangan:
Orang yang bisa melihat Allah diakherat
nanti, diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah bisa melihat Allah
dengan mata bathinnya, atau orang yang bersungguh-sungguh menginginkan
bisa melihat Allah.
Apabila di dunia mata bathinnya tidak
bisa melihat Allah atau tidak menginginkan melihat Allah, maka di
akherat kelak tidak bisa melihat Allah, walaupun dia masuk dalam
lingkungan surga.
Padahal melihat Allah itu adalah kenikmatan yang paling nikmat dibandingkan kenikmatan yang ada di alam surga.
Dan tatkala Allah berkehendak,
mencelakakan atau membutakan mata hati hamba, maka Allah menyibukkannya
dengan berbagai persoalan duniawi, seperti berkhidmatnya hamba terhadap
mahluk lain, baik secara dohir maupun bathin, hingga mata hati hamba,
tertutup untuk bisa sampai kepada Allah SWT.
Sesudah mata bathin hamba tertutup, maka
Nur Basor (pandangan lahir) hamba menguasai terhadap Nur mata
bathinnya. Disini, hamba tidak bisa melihat kecuali hal yang bersifat
dohir dan tidak bisa berkhidmat atau mencintai Allah, kecuali terhadap
pandangan yang bersifat lahir.
Intinya, apabila yang dipandang
(dilihat) sekedar kedudukan, martabat atau pangkat duniawi semata, maka
hamba termasuk orang yang buta mata bathinnya. Dan semacam ini
menjadikan hamba hanya bisa berkhidmat terhadap orang yang mempunyai
pangkat duniawi tanpa bisa berkhidmat kepada Allah, Rosul, Auliya,
Masyaikh, dan Ulama yang kelihatan dohirnya tidak punya apa-apa.
Padahal Rosululloh SAW, mengatakan: “Berkhidmat
terhadap orang yang Soleh kaya, atau pejabat kaya yang soleh, karena
sekedar memandang jabatan atau kekayaannya, maka akan hilang seperti
tiga dari agamanya, apalagi yang kita khidmati jelas-jelas orang yang
dzolim”.
Syeikh Ibnu Ubad, mengatakan: “Orang yang mencintai kedudukan, pangkat dan martabat, selamanya tidak akan bisa sampai kepada Allah”. Maka Rosululloh, berkata: “Al-Ulama warosatul ambiya’ malam yukholithi sulthan” yang artinya: “Ulama itu pewaris Nabi selagi tidak ikut campur mencari kedudukan pemerintah”.
Juga bersungguhnya kita terhadap sesuatu
yang sudah ditanggunng oleh Allah, itu termasuk Madmum (tercela) baik
lewat pekerjaan maupun ucapan atau dengan wasilah do’a dan lainnya,
seperti kita ingin cepet berhasil dalam suatu tujuan (menghukumi suatu
keberhasilan sebelum jatuh waktunya) atau terkadang kita terburu-buru
ingin menghasilkan sesuatu, akan tetapi Allah belum memberikannya hingga
sampai kita putus asa, maka kyai Musonnif mengatakan:
Artinya:
Jangan sampai lamanya waktu anugerah
Allah, serta bersunguh-sungguhnya kita dengan selalu meminta kepada
Allah itu menyebabkannya menjadi putus asa, sebab Allah itu Dzat yang
sudah menanggung dan mengabulkan (min haesu wa’dihi fil Qur’an)
terhadap apa-apa yang Allah pilihkan untuk kita, bukan terhadap apa
yang kita pilih sendiri, juga dalam waktu yang Allah kehendaki bukan
dalam waktu yang kita ingini.
Wal Makna:
Ibadah harus kita niatkan Ubudiyyah,
tidak boleh di niatkan untuk mencari keinginan pribadi, jadi sewaktu
kita beribadah, seperti berdo’a (memohon) kepada Allah, dan Allah
sendiri belum mengabulkannya, maka kita tidak boleh putus asa untuk
selalu meminta kepada-Nya, sebab do’a termasuk bagian dari ibadah kita.
Tanbihun:
Maqola Syaekhuna wa Murobbi waruhina, bahwa ibadah itu mempunyai dua pandangan:
1- Ibadah Mahdoh: Ibadah
khusus kepada Allah, dan tidak mengharapkan sesuatu kecuali ubudiyyah
kita hanya ditujukkan kepada Allah semata.
2- Ibadah Goiru Mahdoh:
Ibadah kepada Allah untuk minta apa yang kita inginkan. Sebab tidak ada
yang pantas diminta kecuali hanya kepada-Nya, maka sebagian kita
melahirkan kedhoifan, ketidak mampuan dan kekurangan kita sendiri
sebagai hamba. Dan sesungguhnya kita minta kepada Allah, tak lain karena
hanya Allah yang bisa meberikan kepada para hambanya.
Tetapi sewaktu ibadah Ghoiru Mahdoh,
maka sebisa mungkin kita meminta kepada Allah, secara sungguh-sungguh,
dengan syarat kita tidak boleh tahkim (menghukumi apa yang sudah di
tentukan Allah)
Hukumnya Abdun, itu harus taslim
terhadap apa yang sudah ditentukan Allah, dan adabnya Abdun (tatakrama)
tidak boleh meminta atau memilih sesuatu kepada Allah (sewaktu sedang
menjalankan ibadah Mahdoh) dan tidak boleh meyakini terhadap baiknya
tingkah laku kita sendiri, sebab sifat Abdun itu bodoh dari pandangan
segala arah.
Sebagai makna kekurangan Abdun,
terkadang mereka tidak senang dengan hal-hal yang diterimanya, padahal
menurut pandangan Allah, itu sangat bagus. Dan terkadang mereka menyukai
terhadap suatu keinginan, padahal menurut pandangan Allah, itu semacam
hal yang sangat jelek untuk diri Abdun.
Qolallohu Taala fil Qur’anil Adzim: “Wa’asaa
antakrohu syae’an wahua khoirul lakum. Wa’asa antuhibbu syae’an wahua
syarrullakum. Wallohu ya’lamu wa-antum la ta’lamuun” (Al- Baqoroh ayat- 216) yang artinya:
“Kita terkadang tidak menyukai pada
sesuatu, padahal itu baik bagi kamu, terkadang kamu mencintai sesuatu
padahal itu kurang baik buat kamu”
Sewaktu kita minta kepada Allah, dengan
harapan apa yang kita inginkan cepat di ijabah, namun dalam suatu
permohonan dan lamanya kita meminta Allah belum juga memberikan apa yang
kita inginkan, maka kita tidak boleh ragu dan bimbang, sebab Allah
sudah berjanji dalam Al-Qur’anul Karim: “Ud’unii Astajib Lakum” yang artinya: “Mintalah kepada-Ku, maka Aku akan memberikannya”
Karena sesungguhnya Allah, Dzat yang
menanggung dan mengabulkan do’a hambanya. Tapi yang dimaksud menanggung
disini, terhadap apa yang di kehendaki-Nya (baik buat hamba) bukan dari
segi nafsu kita atau dari sesuatu yang kita kehendaki, juga didalam
waktu yang Allah tentukan, bukan di dalam waktu yang kita inginkan.
Intinya, sebagai hamba tak pantas
memaksakan diri terhadap apa yang bukan menjadi haknya, sebab yang
menentukan baik tidaknya keinginan kita hanya Allah semata. Dan ini
sudah jelas-jelas tersirat dalam Al- Qur’an: “Innalloha laayuhliful mii’ad” yang artinya: “Sesungguhnya Allah, tidak akan mengingkari janjinya”
Terkadang secara lahiriyyah Allah,
mencegah terhadap permintaan kita, semua ini tak lain karena sayangnya
Allah, kepada hambanya. Sebab dalam harapan do’a yang kita inginkan,
menurut Allah, terkadang kurang sesuai atau belum pantas buat kita.
Seperti yang diterangkan dalam kitab “Tanwir fi isqotit tadbir” karangan Imam Ibnu Athoillah: “Suatu
perkara yang bisa menyebabkan hamba menerima atas Qodlo Qodarnya Allah,
itu terlahir dari keyakinan dan pasrah diri kita terhadap apa yang
sudah dipilihkan oleh Allah, sehingga kita memahami bahwa Allah, tidak
akan pernah menyusahkan hambanya” karena Allah, Dzat yang maha kasih sayang terhadap hamba dan semua orang Mu’min.
Diceritakan pula dalam suatu riwayat,
sewaktu Rosululloh, bersama para sahabatnya baru keluar dari salah satu
masjid, beliau melihat seorang ibu yang dengan penuh kasih sayang
menggendong anaknya. Rosululloh-pun bertanya:
“Wahai sahabat!…..tahukah kamu, yakin tidak bila kasih sayang ibu ini sampai tega membuang anaknya dalam kobaran api!….” Lalu secara serempak para sahabatpun menjawab: “Tidak ya Rosululloh?”
Maka Rosululloh berkata: “Sesungguhnya
Allah, Dzat yang penuh kasih sayang terhadap orang-orang Mu’min, jauh
ketimbang kasih sayang orang tua ini terhadap anaknya”.
Juga terjadinya Allah, memberikan cobaan
kepada hambanya, supaya hamba paham, bahwa Allah, selalu memberikan
kasih sayang dengan banyaknya ke afdholan dan kenikmatanya kelak.
Sebab Allah berfirman: “Innamaa yuaffa soobiruuna ajrohum bigoiri hisaab” yang artinya: “Sesungguhnya Allah, akan memenuhi pahalanya orang yang sabar tanpa hitungan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar